Kalau kamu suka ke pantai, apalagi terampil menyelam, jangan lewatkan hobi yang satu ini. Jalan-jalan, menjelajah, menyelam, dan kegiatan lain sangatlah klop untuk kamu-kamu yang menyenangi koleksi cangkang hewan.
Memang, di mata banyak orang kata cangkang sepertinya tak bermakna lagi. Cangkang, terutama, cangkang kerang dan keong, sering berserakan di tepi-tepi pantai. Namun di mata segelintir orang, cangkang mempunyai manfaat besar. Cangkang dicari, dibersihkan, dan disimpan. Bahkan diteliti, dilestarikan, dihibahkan, dipertukarkan, dijual, dibawa ke mancanegara, dan dipamerkan.
Orang mengumpulkan cangkang moluska karena keindahan warnanya dan keunikan bentuknya. Moluska berasal dari kata Latin molluscus yang berarti lunak karena memang tubuh hewan itu sangat lunak. Hewan moluska yang paling dikenal adalah kerang (berkatup atau bercangkang dua) dan keong (bercangkang satu).
Cangkang moluska sangat kuat dan keras karena terbuat dari kandungan kalsium karbonat. Daya tahannya sangat lama. Karena itu banyak orang memburunya untuk dijadikan benda koleksi. Apalagi jumlah moluska di seluruh dunia mencapai puluhan ribu spesies, sekitar 15.000 di antaranya terdapat di Indonesia. Umumnya moluska hidup di air laut dan air tawar. Banyak juga terdapat di air payau dan daratan.
Konkologi
Jenis moluska yang paling banyak dicari kolektor adalah konk (conch). Cangkang konk mempunyai puncak spiral yang kecil di ujungnya dengan lingkaran besar di bagian bawah. Konk banyak ditemukan di berbagai belahan dunia dari masa ke masa. Karena populernya, maka pengetahuan tentang cangkang moluska kerap disebut konkologi dan kolektornya dinamakan konkologis. Pada sebagian masyarakat ilmiah dikenal pula istilah malakalogi. Pengetahuan ini bukan hanya mempelajari cangkang moluska, tetapi juga seluruh isi tubuhnya.
Bila kamu berminat menjadi konkologis, kumpulkan dulu koleksi yang paling mudah dijumpai, baik dengan cara mencari sendiri maupun meminta atau membeli. Jika sudah mapan, mulailah melihat-lihat keanehan dan kelangkaan suatu koleksi. Koleksi yang aneh dan langka biasanya berasal dari laut dalam. Di Indonesia laut dalam sangat sedikit jumlahnya dibandingkan laut dangkal.
Moluska yang baik untuk dikoleksi adalah hewan hidup dan berasal dari dalam air. Cangkangnya masih berkilat atau berkilauan alami karena jarang terkena sinar matahari secara langsung. Warnanya pun lebih cerah dibandingkan moluska yang telah mati.
Agar memperoleh cangkang yang bagus, kita harus mematikan hewan tersebut. Jika kamu pandai memasak, mungkin tidak menjadi masalah karena daging moluska enak dimakan dan mengandung gizi tinggi. Buat lainnya? Umumnya konkologis menggunakan metode tradisional, yaitu mengubur hewan itu hidup-hidup dalam pasir. Kira-kira satu minggu kemudian daging moluska sudah membusuk.
Sebenarnya ada cara yang paling cepat untuk mengeluarkan daging moluska, yakni merebusnya. Tapi cara ini sangat membahayakan cangkang. Selain bisa retak, warna cangkang pun akan memudar. Dari segi estetis, hal itu amat tidak disukai konkologis.
Setelah dagingnya dikeluarkan, cangkang harus dibersihkan dengan cara direndam, disemprot, dan digosok. Pengerjaan harus hati-hati sekali, terlebih bila ada lumut atau garam-garaman yang mengeras.
Koleksi yang sudah bersih sebaiknya dimasukkan ke dalam kantong plastik agar tidak teroksidasi dengan udara luar atau berubah warna. Boleh juga langsung diletakkan dalam tempat penyimpanan yang sudah dialasi bahan lembut.
Untuk membuka wawasan berkoleksi, kamu harus rajin membaca buku katalogus. Sayang karena di Indonesia dunia konkologi belum semaju negara-negara Barat, maka belum ada buku katalogus yang berbahasa Indonesia.
Negara Asia yang termaju konkologinya adalah Jepang. Dari katalogus terlihat harga cangkang kecil, kira-kira sebesar ibu jari bayi, mencapai belasan dollar sebuah.
Ironis memang, konkologis Indonesia masih tertinggal jauh di belakang, padahal kekayaan fauna Indonesia sangat luar biasa. Justru Belanda yang mengambil keuntungan dari potensi perairan kita. Dulu sewaktu VOC berkuasa, peneliti-peneliti Belanda berhasil mengumpulkan ribuan spesies moluska Indonesia lewat Ekspedisi Rumphius di perairan Maluku. Jadilah Indonesia penghasil moluska, Belanda yang punya koleksi kita.
Mencari Informasi
Ada berbagai langkah untuk menjadi konkologis yang baik atau paling tidak menyenangi moluska. Yang utama adalah banyak membaca referensi atau literatur. Pekerjaan ini amat dituntut dan mutlak adanya. Tanpa membaca kita tidak akan tahu tingkah laku atau kehidupan sehari-hari hewan tersebut.
Menurut literatur, banyak kerang dan keong hidup dengan membenamkan diri di dasar laut atau sela-sela karang, payau, dan danau. Bahkan ada yang menempel pada benda-benda lain. Bila kita sudah tahu kehidupan hewan-hewan itu, tentu mata kita akan jeli, terutama di sekitar lokasi habitat mereka. Banyak moluska pandai melakukan penyamaran (kamuflase). Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa sasaran akan meloloskan diri.
Saat ini ada beberapa moluska yang dilindungi karena spesiesnya sudah langka. Nah, waspadalah, jangan sampai hobi ini malah merusakkan lingkungan, terumbu karang, dan menghilangkan spesies langka. Berbagai ensiklopedia, baik berbahasa Indonesia maupun bahasa asing, banyak menginformasikan moluska. Begitu pun buku-buku macam Sea Shells of the World atau Shells of the World.
Ada berbagai lembaga ilmiah yang patut dikunjungi. Museum Bahari di bilangan Jakarta Kota, menyimpan sedikit informasi tentang biota laut. Kita bisa melihat sekaligus mengetahuinya. Informasi yang lebih lengkap ada di Museum Zoologi Bogor. Museum ini juga memamerkan berbagai jenis moluska dari seluruh Indonesia.
Di Makasar ada museum yang khusus menyajikan koleksi moluska. Museum ini milik keluarga Clara Bundt. Terletak di dekat Pantai Losari. Bundt sendiri ibarat ensiklopedia hidup. Dia banyak tahu tentang asal usul dan nama suatu moluska. Museum Bundt merupakan museum moluska terlengkap di Indonesia. Banyak pelajar, mahasiswa, dan kalangan akademisi melakukan penelitian di sini. Lebih dari itu, museum Bundt menjadi objek wisata andalan Makasar karena selalu dimasukkan ke dalam brosur-brosur pariwisata regional, nasional, dan internasional.
Di Jakarta konkologis yang mempunyai koleksi relatif banyak antara lain Dr. Jopie Wangania (ahli antropologi UI), Rae Sita Supit (bintang film era 1970-an), dan Ir. Arief (karyawan swasta). Yang tergolong lengkap adalah milik Jopie Wangania. Dia bukan hanya mengoleksi cangkang moluska, tetapi juga prangko, hiasan, literatur, cendera mata, resep makanan, dan makanan kaleng dari berbagai negara. Tentu saja semuanya bergambar atau berhubungan dengan moluska.
Untuk jenis moluska purba, informasi bisa diperoleh dari berbagai museum. Beberapa lembaga penelitian seperti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi, kerap menyimpan data tentang moluska. Sejak lama berbagai ekskavasi arkeologi sering menemukan cangkang moluska, baik sebagai bekal kubur atau alat tukar, maupun sebagai bahan konsumsi atau pelengkap ritual.
Moluska hidup berkesinambungan sejak zaman purba hingga kini. Maka mengoleksi dan mempelajari moluska selalu mempunyai nilai tambah yang tiada taranya.
Informasi Pengetahuan
Moluska berfungsi sebagai benda koleksi sekaligus informasi ilmu pengetahuan. Koleksi ini sudah dikenal sejak zaman prasejarah, yakni masa sebelum manusia mengenal sumber tertulis. Dulu kerang banyak dikonsumsi manusia purba, sebagaimana ditunjukkan temuan-temuan arkeologis berupa kulit kerang.
Bukan itu saja. Moluska juga banyak digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga, seperti alat pemotong atau keperluan lain yang berhubungan dengan kelangsungan hidup. Selanjutnya seiring masyarakat mulai memahami kebudayaan baru, mereka melakukan penguburan terhadap orang yang meninggal. Bersama si arwah disertakan pula perhiasan-perhiasan dari kulit kerang sebagai bekal kubur.
Manusia purba yang hidup di tepi pantai dan dalam gua juga sangat tergantung pada bahan-bahan makanan laut. Diperkirakan sebagian besar makanan pokok masyarakat zaman itu adalah kerang dan keong. Hal ini berdasarkan penemuan sejumlah besar kulit kerang dan keong di dalam timbunan yang membukit di sejumlah situs arkeologi.
Menurut para pakar prasejarah, eksploitasi laut mulai dikembangkan sekitar tahun 20.000 SM. Pada masa itu masyarakat hidup sebagai nelayan atau pencari kerang.
H.R. van Heekeren pada 1930-an melakukan ekskavasi di Leang Karassa, Sulawesi Selatan. Di situ dijumpai lapisan kerang setebal 100 sentimeter. Penyelidikan van Heekeren pada 1937 di Pangkajene menghasilkan sejumlah besar alat dari kerang seperti penggaruk dan alat tusuk.
Di Sumatera terdapat bukit kerang atau bukit remis. Bukit-bukit ini bergaris tengah sekitar 30 meter dengan tinggi tidak kurang dari 4,50 meter.
Seorang peneliti lainnya, H. Witkamp menyebutkan bukit kerang ini adalah hasil suatu kegiatan manusia dulu kala. Di dalamnya antara lain terdapat kulit kerang dan tulang-tulang hewan.
Pada 1925 dan 1926 P.V. van Stein Callenfels melakukan ekskavasi di sebuah bukit kerang dekat Medan. Hasilnya berupa kerang dan kapak genggam Sumatera. Kerang ini kemudian diteliti oleh van der Meer Mohr.
Mohr menyimpulkan kerang tersebut dipergunakan sebagai alat tiup, tempat minum, dan gayung air. Ada pula yang dipakai sebagai perhiasan dengan jalan melubangi kerang itu. Sebagian lagi dijadikan alat-alat seperti penggaruk dan serut.
Selain itu terdapat jenis-jenis kerang yang dijadikan makanan. Cara memakannya, kerang dipanaskan kemudian isinya diambil. Ada pula yang harus dipecah terlebih dulu, baru dikeluarkan isinya.
Penelitian terhadap bukit kerang pernah dilakukan pula oleh H.M.E. Schurmann di Binjai. Dari penemuan alat-alat berupa kapak genggam, penggaruk, tusukan, dan sisa-sisa kerang para pakar menyimpulkan bahwa kehidupan waktu itu berada dalam taraf berburu, mengumpulkan makanan, dan mencari makanan di laut. Diduga kapak genggam digunakan untuk memecah kulit kerang yang keras.
Pada masa-masa selanjutnya para arkeolog menemukan kerang pada sejumlah situs yang terletak di pesisir. Ekskavasi di Banten, misalnya, menghasilkan sejumlah besar kerang bersama pecahan periuk dan keramik. Melihat konteksnya para pakar memperkirakan bahwa situs tersebut merupakan tempat permukiman penduduk pantai yang makanan pokok serta kehidupan sehari-harinya tergantung dari hasil laut.
Fungsi Kerang
Kerang pernah berfungsi sebagai alat tukar (barter) dan mas kawin. Kerang pun menjadi hiasan perahu layar beberapa suku bangsa. Sekelompok suku bangsa memperlakukan kerang sebagai unsur religius karena mereka menganggap kerang melindungi seluruh warga dari segala mara bahaya.
Sisa-sisa moluska menjadi data arkeologi yang berguna bagi kelengkapan suatu penafsiran sejarah. Data arkeologi tersebut dipakai sebagai petunjuk hubungan penghuni purba suatu situs dengan daerah-daerah lain, terutama daerah pesisir. Dengan mengetahui lingkungan hidup atau habitat berbagai jenis moluska, dapat disimpulkan apakah penghuni purba sudah pandai menyelam atau berlayar. Moluska juga merupakan petunjuk yang berguna dalam menentukan iklim atau cuaca dan vegetasi.
Secara umum ada tiga manfaat studi terhadap moluska. Pertama, dapat digunakan sebagai bahan aplikasi studi tentang paleoantropologi. Kedua, untuk merekonstruksi data iklim dan lingkungan purba. Ketiga, untuk studi mengenai sumber makanan. Demikian menurut penelitian Rokhus Due Awe, ahli moluska purba dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Kresno Yulianto, dosen arkeologi UI.
Sampai sekarang masyarakat Belu, NTT, masih memiliki beberapa pusaka unik. Pusaka ini mengandung pola hias prasejarah. Pola hias tersebut disusun atau disulam dari manik-manik dan dikelilingi bahan dari kulit moluska. Pusaka berujud kain ini hanya digunakan pada upacara-upacara adat, umpamanya gake ngadhu atau pembuatan rumah adat suku yang baru dan hanya boleh dipakai oleh golongan bangsawan.
Di Belu juga terdapat benda-benda perlengkapan wanita yang biasa digunakan pada waktu melakukan tarian tradisional atau menyambut tamu-tamu agung. Perlengkapan ini berupa tusuk konde yang diberi untaian manik-manik dari kulit kerang.
Banyak kerang berukuran kecil dipakai sebagai bahan makanan dan peralatan. Moluska kecil lain, baik yang mempunyai dua katup maupun yang berbentuk spiral, sering kali dilubangi sekaligus dijalin dengan benang atau tali untuk dijadikan kalung. Perhiasan jenis ini telah dikenal sejak zaman Paleolitik Atas. Kerang yang lebih besar dimanfaatkan untuk gelang dan merjan (manik-manik).
Dibandingkan hewan-hewan lain moluska termasuk jenis yang istimewa. Kulitnya yang mengandung unsur kapur memungkinkan hewan itu hidup tahan lama dalam cuaca bagaimanapun. Hal ini sangat menguntungkan para peneliti. Berkat kelebihan itu para pakar berhasil menafsirkan berbagai aspek ilmu pengetahuan, seperti permukiman, mata pencarian, gizi, dan perdagangan sejak zaman purba.
Cowry
Di mata masyarakat kuno cowry adalah jenis keong yang paling mendapat perhatian. Hewan berbentuk spiral ini dulu digunakan sebagai alat tukar. Jenis ini semakin populer karena dianggap sebagai simbol alat kelamin wanita, dipercaya melambangkan kesuburan. Kecuali dipuja dan dihormati, cowry juga diperdagangkan.
Menurut penelitian antropolog Jopie Wangania, terdapat empat fungsi kerang bagi manusia, yakni sebagai kerang pangan, kerang industri, kerang obat, dan kerang bermakna religius. Kerang pangan adalah kerang yang dagingnya dapat dimakan. Tidak semua kerang dapat dimakan karena beberapa jenis kerang mengandung racun.
Kerang industri adalah kerang yang kulitnya dapat dijadikan barang kerajinan, seperti hiasan ruangan atau benda dekorasi.
Kerang obat adalah kerang yang dapat dipergunakan sebagai obat. Misalnya untuk menyembuhkan penyakit gatal. Umumnya kulit kerang itu dibakar kemudian ditumbuk sampai halus. Serbuk ini dianggap mujarab sebagai obat oleh berbagai suku bangsa.
Kerang bermakna religius adalah kerang yang digunakan pada saat pesta atau upacara, seperti yang dilakukan suku Dani di Papua. Pada masyarakat itu para kerabat datang ke upacara duka dengan membawa kerang. Saat upacara berlangsung kerang-kerang tersebut dijejerkan menurut kedudukan kekerabatan.
Moluska banyak ditemukan pada situs-situs arkeologi di NTT, Anyer, dan Gilimanuk. Ada yang bentuknya kecil, ada pula yang besar. Namun moluska sulit dijadikan pertanggalan, seperti halnya keramik dan mata uang. Ini karena perkembangan bentuk cangkang hewan-hewan itu relatif sama dari masa ke masa. Dalam periode seratus tahun, misalnya, bentuk Gastropoda (salah satu spesiesnya) belum tentu berubah.
Di mata para arkeolog, lebih mudah mengidentifikasi temuan-temuan moluska yang ada tanda-tanda pemangkasan atau pengerjaan oleh manusia. Begitu juga temuan-temuan moluska yang berada dalam konteks temuan atau bersama sejumlah benda arkeologis.
Di situs Gilimanuk, misalnya, pernah ditemukan banyak kerang yang punggungnya dipangkas. Semula temuan-temuan tersebut sulit diketahui fungsinya. Namun karena bentuk-bentuk seperti itu masih ditemukan di NTT—berfungsi sebagai bandul jaring—maka para arkeolog pun menganalogikan demikian, yakni dulu kerang-kerang tersebut berfungsi sebagai bandul jaring.
Nah, mulailah menjadi konkologis profesional. Sekarang kamu bukan hanya tahu moluska sebagai benda koleksi, tetapi juga peranannya dalam berbagai bidang iptek. (DJULIANTO SUSANTIO)