Pengumuman


Blog ini tidak diperbarui atau posting artikel lagi. Selanjutnya silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Rabu, 03 Maret 2010

Didaktika: Ganti Tahun, Ganti Penerbit


Tahun ajaran lama 2004/2005 telah berlalu. Tahun ajaran baru 2005/2006 datang menjelang. Para penerbit bersiasat mendekati sekolah. Pihak sekolah memutar otak bagaimana mencari tambahan penghasilan dari para murid. Toko-toko buku menggelar diskon. Para orang tua hanya bisa pasrah atas kemauan sekolah. Begitulah kejadian yang terus berulang setiap tahunnya tanpa ada penyelesaiannya.

Sekolah menjual buku pelajaran bukanlah peristiwa langka lagi. Ini tentu “berkat kerja sama yang baik” dengan penerbit. Padahal menurut aturan dagang, sekolah dilarang menjual buku. Toko bukulah yang berhak atas hal ini.

Tapi inilah ironi bisnis. Kalau sekolah mau menjual buku mengapa penerbit tidak memberikannya? Toh, menjual kepada siapa saja tetap memberikan keuntungan finansial bagi penerbit.

Penerbit harus jeli. Pihak sekolah pun demikian. Siapa yang berani memberikan diskon lebih tinggi, buku-bukunya pasti dipakai oleh sekolah bersangkutan. Kejadian seperti ini kerap dijumpai pada banyak sekolah di seluruh Indonesia. Ada yang langganan penerbit A, penerbit B, dst. Ada pula yang berganti-ganti dari penerbit A ke penerbit B, dst.

Buat orang tua, memang ada keuntungannya kalau membeli buku lewat sekolah. Apalagi ada “ancaman” dari pihak sekolah bahwa penjualan buku hanya dilakukan saat itu juga. Di luar hari yang sudah ditentukan, maka pembelian buku harus dilakukan di luar sekolah.

Hanya kerugian bagi orang tua adalah sekolah tidak memberikan diskon terhadap pembelian tersebut. Waktu yang terlalu mepet itulah yang menyebabkan banyak orang tua enggan mencarinya di luaran. Mereka terpaksa membelinya di sekolah, meskipun tahu harganya lebih mahal.

Praktek bisnis sering kali melupakan segala hal. Satu sekolah selalu bergonta-ganti buku pelajaran setiap tahunnya. Sebagai orang tua murid SD kelas 4 dan 6, saya merasakan sekali “ganti tahun, ganti penerbit”. Hal itu tentu terasa memberatkan para orang tua.

Karena bergonta-ganti penerbit, maka sang adik tidak bisa lagi menggunakan buku sang kakak, padahal mereka satu sekolah. Bukan kali ini saja, melainkan sejak si adik duduk di kelas 1. Akibatnya, para orang tua harus membeli buku baru lagi.

Banyak penerbit pun sering kali melakukan “praktek kotor” sehingga merugikan para orang tua. Beberapa tahun lalu sewaktu sekolah menggunakan sistem caturwulan, maka buku-buku dicetak dalam tiga jilid (A, B, dan C). Namun ketika sistem pendidikan memakai semester, pencetakan buku-buku pun disesuaikan menjadi dua jilid (A dan B).

Umumnya isi buku tetap sama, hanya halamannya agak berbeda. Coba, murid SD mana yang tidak bingung? Kalau mau tidak bingung, ya harus membeli buku baru. Tidak dimungkiri kalau hal ini merupakan kejelian penerbit menangkap peluang bisnis agar bukunya laku.

Yang keterlaluan, penerbit atau pengarang sering mengubah format bacaan pada buku yang sama. Pada sebuah buku Bahasa Indonesia edisi 2002, misalnya, bacaannya mengenai “Tono Bermain Sepakbola”. Namun pada edisi 2003 berubah menjadi “Badu Bermain Voli”. Nah, anak mana yang tidak bingung (dan mungkin takut kepada guru) bila memakai edisi lama. Agar anak tidak bingung, ya terpaksa beli buku baru.

Ini satu lagi kejelian penerbit. Pada tahun sebelumnya penerbit memberi judul bukunya “Ilmu Pengetahuan Alam” dan “Ilmu Pengetahuan Sosial”. Namun pada tahun berikutnya diganti “Sains” dan “IPS Terpadu”. Padahal ya istilahnya sama, penerbitnya itu-itu juga. Ilustrasi pada sampul muka pun agak diubah. Nah, orang tua mana yang tidak kecewa padahal isi buku sebagian besar masih sama.

Satu hal lainnya adalah pada buku-buku sebelum 2004 umumnya bertuliskan “Kurikulum 1994, Suplemen GBPP 1999”. Namun sejak 2004 tulisannya berubah “Kurikulum 2004 Berbasis Kompetensi” atau “KBK 2004”. Sudah terang, orang tua lagi yang menjadi korban.

Sering berubahnya kurikulum memang menunjukkan peningkatan mutu pendidikan. Kurikulum berubah berarti buku pun berganti.

Seyogyanya penerbit tidak melulu berorientasi bisnis. Penerbit harus memikirkan bagaimana menampung kembali buku-buku yang pernah diterbitkannya. Saya mempunyai banyak buku SD (dari kelas 1 hingga kelas 3) yang tidak mungkin terpakai lagi oleh murid-murid di bawah generasi anak saya. Orang-orang tua lainnya pasti senasib dengan saya.

Lain halnya dengan zaman dulu sewaktu saya duduk di SD. Saya hanya meminjam buku Cerdas Tangkas atau Bahasaku dari kerabat saya Buku-buku lainnya juga tak pernah membeli, kecuali kalau terpaksa. Sebab buku-buku yang saya pakai berstatus sewaan dari sekolah.

Sekarang segala buku harus dibeli. Sulit untuk meminjam karena perubahan kurikulum terlalu cepat; modifikasi bahasa oleh penerbit/pengarang; modifikasi ilustrasi; dan sering kali dijumpai buku-buku tersebut sering dicorat-coret anak karena latihan soal bersatu di dalamnya. Perlu dipikirkan agar latihan soal disediakan pada buku tersendiri.

Buku sekali pakai merupakan keuntungan besar buat penerbit. Sebaliknya kerugian besar buat para orang tua. Harus dicari jalan tengahnya agar tidak merugikan kedua belah pihak. (DJULIANTO SUSANTIO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Kontak