Bilamanakah Candi Prambanan didirikan, pada dasarnya belum diketahui secara pasti. Meskipun selama ini banyak pakar menghubungkannya dengan prasasti Siwagerha yang bertarikh 856 M, namun isi pokok prasasti tersebut adalah tentang peresmian sebuah bangunan suci untuk dewa Siwa. Termasuk uraian terinci mengenai kompleks bangunan suci agama Siwa tersebut. Menurut para pakar, kompleks tersebut tidak lain daripada kompleks Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang yang kita kenal sekarang.
Peresmian tentu amat berbeda dengan pendirian. Untuk mencari tahu tahun pendirian Candi Prambanan, para pakar hanya dapat mengira-irakan saja karena sampai kini belum ada sumber tertulis yang mengemukakan hal tersebut. Pendirian Candi Prambanan tentu dilakukan sebelum peresmiannya tahun 856. Tetapi, bilamana waktunya yang pasti masih sukar ditentukan.
Meskipun memiliki sedikit kelemahan, prasasti tetap dianggap artefak bertanggal mutlak. Demikian pula halnya dengan mata uang. Mata uang mempunyai tarikh atau dapat ditetapkan tarikhnya melalui gambar, tulisan, atau tanda lain yang terdapat pada mata uang tersebut.
Pertanggalan penting nilainya untuk penyusunan kronologi sejarah kuno. Namun, banyak artefak sering kali tidak memiliki pertanggalan. Meskipun begitu, sejumlah artefak masih bisa ditandai dengan cara menglasifikasikannya berdasarkan tipologi. Keramik China, misalnya, bisa ditelusuri masa pembuatannya berdasarkan bentuk, bahan, warna, dan ragam hias. Seorang pakar keramologi yang terampil, mampu membedakan keramik-keramik dari masa dinasti Ming, Ching, Tang, Sung, dsb secara cermat.
Karena masa pemerintahan setiap dinasti di China sudah diketahui, tentu umur suatu benda keramik pun dapat ditentukan. Tipologi juga dilakukan untuk artefak-artefak lain yang tidak bertanggal, meskipun lebih sulit penerapannya daripada benda keramik.
Mutlak
Dalam arkeologi dikenal dua jenis pertanggalan, yakni pertanggalan relatif dan pertanggalan mutlak. Pertanggalan relatif hanya mengandalkan tipologi suatu benda. Jangan heran kalau dalam suatu penemuan arca-arca kuno, misalnya, hanya dikatakan “menurut langgam seninya arca tersebut berasal dari periode Majapahit akhir”. Bila “diterjemahkan” ke dalam tarikh, periode tersebut berlangsung sekitar abad ke-14 atau ke-15. Begitu juga bila dalam penemuan benda-benda lain hanya ditafsirkan berasal dari zaman Sriwijaya, Mataram, Tarumanagara, dsb.
Berbagai jenis artefak memang bisa dengan mudah diketahui pertanggalannya hanya melalui pengamatan. Apalagi bila artefak tersebut berasal dari masa puluhan tahun atau ratusan tahun. Nah, bagaimana kalau artefak tersebut berasal dari masa yang panjang, seperti ribuan tahun atau bahkan jutaan tahun?
Sebenarnya, para arkeolog telah membagi zaman-zaman dalam prasejarah dengan berbagai istilah seperti zaman batu, zaman perunggu, holosen, pleistosen, masa berburu dan mengumpulkan makanan, dsb. Namun kronometri seperti itu dipandang metode konvensional yang kurang akurat.
Demikian pula dengan kronometri yang mendasarkan perhitungan pada susunan sedimen atau lapisan tanah. Metode seperti ini memang pernah diuji coba pada dasar danau dan berhasil melengkapi data geologi di Skandinavia sampai 10.000 tahun silam. Meskipun hasilnya telah memuaskan para peneliti, namun upaya untuk menemukan metode baru yang lebih canggih selalu dilakukan.
Cara lain adalah kronometri pepohonan atau dendrokronologi, biasanya dilakukan terhadap fosil kayu atau pohon purba. Caranya adalah dengan menghitung jumlah cincin atau lingkaran kambium yang tampak pada potongan batang yang dipenggal. Dengan prinsip bahwa satu lingkaran menunjukkan satu tahun pertumbuhan, maka umur fosil atau pohon bisa dihitung. Tapi cara itu mempunyai kelemahan, yakni lebar cincin sangat dipengaruhi keadaan lingkungan waktu itu, seperti suhu, musim, dan keadaan alam lainnya.
Meskipun begitu, dendrokronologi mampu mengungkapkan umur pepohonan di AS sampai 2.000 tahun silam. Sedangkan di Swiss para arkeolog pernah memelajari kayu yang ditemukan di lokasi tempat tinggal dari zaman perunggu. Kemudian diketahui bahwa pada awalnya permukiman masyarakat di sana sangat kecil, yakni hanya dimulai pada empat rumah. Hal ini berlangsung pada 1010 SM. Lambat laun masyarakat berkembang dan pada 985 SM rumah-rumah penduduk mulai berpagar (Paul Devereux, Arkeologi).
Radiokarbon
Namun metode kronometri demikian dipandang belum menjangkau masa yang lebih jauh ke belakang. Untuk itu para arkeolog mencoba bekerja sama dengan pakar fisika nuklir. Diharapkan metode baru itu dapat lebih akurat dalam menentukan umur benda sehingga para arkeolog mampu menjelaskan evolusi budaya manusia purba lebih teliti.
Di antara berbagai metode yang dikembangkan, pertanggalan Radiokarbon atau C-14 telah banyak digunakan para arkeolog. Metode C-14 dirintis dan dikembangkan oleh Willard F. Libby (AS) dkk. pada 1946. Metode ini telah berhasil mengungkap lebih dari 100.000 sampel (contoh) yang berasal dari masa pleistosen (Kadarisman Wisnukaton dan Silakhuddin, “Menentukan Umur Benda Purbakala dengan Teknik Nuklir”).
Prinsip pertanggalan C-14 adalah semua bentuk kehidupan di bumi mengambil dan menyimpan karbon. Proses ini berhenti sewaktu makhluk hidup itu mati sehingga karbon semakin berkurang dalam jangka waktu tertentu. Dengan menghitung jumlah karbon yang tersisa pada suatu sampel organik, maka dapat diketahui masa berasalnya sampel organik tersebut.
Banyak fosil purba dan situs-situs di Indonesia berhasil ditentukan umurnya melalui pertanggalan C-14. Sayang, pengujian seperti ini belum mampu dilaksanakan di Indonesia. Jadi harus dibawa ke luar negeri, terutama Australia, sehingga anggaran penelitian sangat membengkak.
Kalium-argon
Dalam arkeologi dikenal pula pertanggalan Kalium-argon. Pertanggalan ini digunakan untuk mencari tahu bilamana jejak-jejak kaki manusia purba mulai ada di bumi. Metode kerjanya adalah mengukur rata-rata hilangnya kalium di bebatuan vulkanis. Pertanggalan ini pernah diterapkan pada temuan jejak kaki Australopithecus di Tanzania pada 1978. Diperkirakan jejak kaki tersebut berusia 3,8 juta tahun.
Sementara itu, pertanggalan Uranium juga sering diterapkan pada sisa-sisa kebudayaan manusia purba. Teknik ini sangat penting untuk memberikan pertanggalan gua-gua dan mengetahui bilamana gua-gua itu dihuni atau dipakai. Terlebih apabila gua-gua itu terbuat dari bebatuan yang kaya kalsium karbonat. Para arkeolog sering memakai teknik ini karena mereka dapat menentukan waktu yang lebih jauh di masa lampau daripada hanya memakai pertanggalan Radiokarbon (Paul Devereux, Arkeologi).
Metode pertanggalan lain juga banyak dikembangkan. Hanya penggunaannya belum seluas pertanggalan-pertanggalan di atas.
Perkembangan ilmu pengetahuan memang semakin memudahkan kerja para arkeolog. Namun karena anggaran yang terlalu minim, arkeolog-arkeolog Indonesia belum merasakan kemajuan teknologi seperti itu. Jangan heran kalau arkeolog-arkeolog Indonesia tertinggal jauh dari teman-teman sejawatnya di mancanegara. (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar