Pengumuman


Blog ini tidak diperbarui atau posting artikel lagi. Selanjutnya silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 19 Januari 2010

Zaman Dulu: Perahu, Kendaraan Roh ke Dunia Arwah


Penemuan perahu kuno buatan abad ke-17 di Sungai Bengawan Solo baru-baru ini (SH, 8/10) setidaknya memberi gambaran bahwa sejak lama Indonesia merupakan salah satu “negara perahu” tersohor. Menurut data sejarah, sejak ribuan tahun yang lalu memang nenek moyang kita sudah berprofesi sebagai pelaut. Mereka dengan gagah berani mengarungi samudera luas. Bukan hanya di wilayah Indonesia, tetapi sudah menyeberang ke Asia Tenggara, Pasifik, bahkan jauh sekali hingga Madagaskar di benua Afrika. Mereka berlayar untuk berbagai keperluan, terutama berdagang dalam taraf yang paling primitif.

Kemungkinan besar perahu nenek moyang kita yang paling awal terbuat dari bambu. Di Indonesia bambu sangat mudah diperoleh karena bambu dapat tumbuh di mana-mana, baik di daerah berhawa sejuk maupun daerah berudara panas.

Dengan merangkaikan bambu-bambu itu, kemudian diikat dengan tali, maka jadilah perahu yang amat sederhana. Pada masa sekarang perahu demikian biasa disebut rakit atau getek. Bentuknya polos, tanpa kemudi dan tanpa layar. Oleh karena itu rakit hanya efektif untuk pelayaran jalur pendek lewat sungai.

Mungkin juga perahu pertama terbuat dari beberapa batang pohon pisang (gedebong) yang digabung menjadi satu. Bambu dan gedebong merupakan bahan yang ringan dan mudah mengambang di air. Rakit dari kedua bahan itu masih digunakan oleh penduduk daerah pedalaman yang terisolasi jalan darat sampai sekarang.

Sesuai dengan kondisi geografis, di tempat lain perahu paling awal diduga terbuat dari sebatang pohon besar yang bagian tengahnya dilubangi, mirip lesung atau sampan. Perahu seperti inilah yang paling populer sebagaimana terlihat pada lukisan-lukisan goa prasejarah, yakni masa sebelum dikenalnya sumber tertulis, di Sulawesi dan Papua.

Bentuk sampan kemudian berkembang. Sebagai pengganti tenaga manusia untuk mendayung, digunakan layar yang menggunakan tenaga angin. Bentuk layar yang umum dikenal adalah segitiga dan segiempat. Bahan dasar pembuatan layar mungkin sejenis tikar pandan, tumbuh-tumbuhan yang dianyam, kulit kayu, atau kulit binatang yang disambung-sambung.


Relief

Bukti adanya perahu yang lebih bagus diperlihatkan oleh sejumlah relief Candi Borobudur. Ditafsirkan, sebelum abad ke-9 nenek moyang kita telah mengenal sekurang-kurangnya tiga jenis perahu, yakni perahu lesung, perahu besar yang tidak bercadik, dan perahu bercadik.

Perahu tertua dan perlengkapannya pernah ditemukan di situs kerajaan Sriwijaya bertarikh abad VII-XIV. Itulah perahu kayu yang dianggap tertua hingga kini.

Sebagai negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan, di Indonesia banyak sekali terdapat jenis perahu sesuai tradisi lokal. Apalagi negara kita disebut negara kepulauan dan negara bahari yang 70 persen dari bagiannya berupa perairan. Beberapa jenis perahu yang dikenal di Indonesia umumya populer di daerah pesisir pantai, antara lain sampan, biduk, bidar, kora-kora, klotok, ketingting, pancalang, lancang, kalulus, bahtera, tongkang, janggolan, jung, palari, sandek, paduakang, orembai, rorehe, sope, balaso-e, eretan, kano, dan sekoci. Perahu-perahu itu ada yang polos, ada yang berwarna-warni dipenuhi hiasan atau ukiran. Fungsinya pun bermacam-macam, seperti untuk membawa hasil tangkapan, membawa barang dagangan, olahraga, transportasi, pesiar, menjaga keamanan, dan berperang.

Di Indonesia pernah ditemukan perahu yang tergolong unik. Zaman dulu pada perahu perang, dayung bisa difungsikan sebagai tombak. Tentu setelah dibuat sedemikian rupa terlebih dulu sehingga mudah dipegang dan dilemparkan ke arah musuh.

Umumnya bentuk perahu yang berlayar di sungai berbeda dengan perahu untuk transportasi laut. Perahu sungai berbentuk lebih kecil daripada perahu untuk di laut. Ini karena air sungai relatif tenang, sementara air laut sering dipenuhi gelombang.

Pada masa kemudian jumlah layar terus bertambah, disesuaikan dengan besar perahu. Jadi tidak hanya satu, melainkan sampai banyak berlapis-lapis menggunakan tiang tinggi. Karena teknologi terus berkembang maka perahu juga dibuat dari bahan-bahan yang lebih kuat, seperti fiberglass, ferrocement, dan logam. Sebagai daya penggerak digunakan motor atau mesin tempel yang mengandalkan baling-baling sebagai kemudi, untuk menggantikan peran dayung dan layar. Ini disebut kapal motor. Kapal motor yang sangat cepat jalannya, disebut speedboat. Biasanya untuk berlomba macam Formula 1 di olahraga otomotif.

Ada lagi yang disebut perahu karet. Perahu modern ini biasanya digunakan untuk olahraga arum jeram dan untuk menolong penduduk yang terkena musibah banjir.

Perahu yang berukuran sangat besar sering disebut kapal air atau kapal laut. Karena menggunakan bahan bakar batubara, ada yang disebut kapal api. Berjenis-jenis kapal yang dikenal, antara lain kapal kargo, kapal tunda, kapal tanker, kapal pesiar, kapal perang (bahkan yang disebut kapal induk amat sangat besar), kapal penangkap ikan, dan kapal penumpang.

Ada pula yang disebut kapal selam. Kapal ini agak unik karena jalannya tidak mengapung di atas air, tetapi menenggelamkan diri. Maklum kapal jenis ini adalah kapal perang. Jadi supaya tidak terlacak musuh, ya harus sembunyi-sembunyi jalannya.


Prasejarah

Pada zaman prasejarah perahu banyak dipuja oleh berbagai suku bangsa. Mereka yang bertempat tinggal dekat air, misalnya di tepi sungai atau laut, menganggap perahu merupakan suatu benda yang sangat berarti dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut pakar prasejarah Prof. R.P. Soejono, dulu pun timbul kepercayaan bahwa bila manusia meninggal, arwahnya akan diantar oleh perahu ke suatu pulau di seberang lautan. Di sanalah nantinya arwah akan bertempat tinggal. Karena itu peti mayat bangsa pelaut tersebut dibuat menyerupai bentuk perahu. Sebuah perahu tiruan disertakan pada mayat yang dikubur dalam peti tersebut. Tradisi seperti ini dulu banyak dijumpai di kepulauan Tanimbar, Babar, Leti, suku Dayak Ngaju, Toraja, Sumba, dan Pulau Roti.

Perahu sebagai kendaraan roh ke dunia arwah itu dilukiskan pada masa paleometalik atau logam awal. Perahu juga banyak terdapat pada pola hias nekara, yaitu bejana besar terbuat dari logam perunggu.

Pada masa selanjutnya, pola hias perahu memengaruhi kain batik, kain tenun tradisional, dan ornamen peninggalan budaya lainnya. Dalam filosofi Islam, menurut Prof. Dr. Hasan M. Ambary, pakar arkeologi Islam, perahu diibaratkan kendaraan untuk menuju tempat yang abadi. Tidak heran bila seorang sastrawan Aceh terkenal pada masa dulu, Hamzah Fansuri, pernah menulis sebuah karya berjudul “Syair Perahu” yang begitu melegenda.

Berkat perahu, pengetahuan tentang kemaritiman semakin maju serta dunia semakin terbuka dan dekat, bahkan berperang. Sayangnya, koleksi-koleksi perahu kita hanya sedikit terdapat di Museum Bahari Jakarta dan Museum La Galigo Makasar. Mudah-mudahan nantinya koleksi museum-museum kita akan bertambah lengkap, sehingga kita bisa menyaksikan jenis-jenis perahu yang dibuat berbagai suku bangsa di Indonesia. Cukup berupa miniatur perahu, model, atau replikanya agar tidak memakan tempat.


Jenis-jenis Perahu

Perahu: Sarana pengangkutan di air. Sering kali tidak bergeladak. Bentuk dan peralatannya disesuaikan dengan kegunaannya. Wujudnya ruang persegi panjang. Berasal dari kata padao atau parao yang lazim terdapat di sekitar Malabar (India).

Jukung: Jenis perahu yang pembuatannya secara langsung dari satu pokok kayu utuh, misalnya kayu jati, kayu sukun, dan kayu nangka. Setiap daerah pesisir memiliki tradisi sendiri dalam pembuatan jukung. Ada jukung yang mempunyai cadik ganda, yakni di kanan kiri badan perahu. Ada pula yang hanya mempunyai cadik tunggal. Bahkan ada yang tidak mempunyai cadik. Sejumlah jukung dilengkapi layar. Fungsi utama jukung adalah membawa hasil tangkapan para nelayan. Sementara cadiknya berfungsi untuk menjaga keseimbangan.

Pinisi: Umumnya pinisi berbahan kayu jati. Perahu pinisi yang terkenal dibuat oleh Suku Bira di Sulawesi Selatan. Fungsi utama pinisi adalah untuk transportasi dan mengangkut barang dagangan. Karena panjangnya sekitar 35 meter, maka kemampuan daya angkutnya mencapai 200 ton. Perahu pinisi dilengkapi kemudi dan layar.

Lancang Kuning: Lancang berarti perahu. Jadi artinya perahu berwarna kuning. Dulu merupakan perahu kebesaran raja yang dipergunakan untuk pesiar atau meninjau keadaan daerah dan rakyatnya. Lancang Kuning yang terkenal berasal dari Bengkalis, Riau, dan Kalimantan Barat. Perahu itu mempunyai 14 dayung, masing-masing tujuh di kanan dan kiri. Dulu perahu Lancang Kuning begitu populer, sehingga dibuatkan lagu.

Alut Pasa: Alut artinya perahu dan pasa artinya lomba. Jadi alut pasa adalah perahu untuk berlomba. Berasal dari Kalimantan Timur. Sering digunakan oleh Suku Dayak Kenyah.

Lete: Dulu perahu lete banyak dipakai untuk mengangkut garam dari Madura ke seluruh Indonesia. Saat ini sering digunakan untuk mengangkut ternak, kayu, dan barang-barang dagangan lain.

Sampan: Perahu kecil dan ringan, terutama digunakan di sungai dan pelabuhan. Berasal dari kata China, berarti tiga papan. Umumnya mempunyai kabin beratap tikar. Banyak dipakai sebagai tempat tinggal. Mempunyai satu layar, dikayuh dengan satu atau lebih dayung.

Sekoci: Sampan dayung kecil yang ditempatkan di kapal. Digunakan untuk mengangkut penumpang atau barang ke darat dan sebaliknya. Juga digunakan sebagai sampan penyelamat dalam keadaan darurat di kapal. Misalnya jika terjadi kebakaran kapal, orang menyelamatkan diri menggunakan sekoci itu. (Sumber: Museum Bahari dan Ensiklopedia Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Kontak