Bagi sementara orang, sampah merupakan sesuatu yang bernilai negatif, karena menjijikkan dan menimbulkan bau tidak sedap. Namun di mata segelintir masyarakat lain, sampah bagaikan “harta karun” yang bernilai positif. Ini karena beberapa jenis sampah dapat diolah menjadi barang-barang daur ulang, kompos, bahkan sumber energi listrik.
Sejak lama, sampah sering diteliti banyak pakar dari berbagai bidang keilmuan, tidak terkecuali pakar-pakar arkeologi. “Arkeologi kok meneliti sampah, untuk apa?” begitulah cemoohan orang-orang pada awalnya.
Pada dasarnya, studi arkeologi berkenaan dengan manusia masa lalu melalui benda-benda budaya yang mereka tinggalkan. Namun karena informasi dari masa lalu sangat terbatas jumlahnya, sementara ada asumsi bahwa pola tingkah laku manusia masa kini merupakan kelanjutan dari masa lalu, maka kemudian berkembang studi analogi etnografi atau etno-arkeologi. Subdisiplin arkeologi ini ingin memahami proses budaya yang terjadi pada masa lalu melalui manusia masa kini.
Salah satu objek penelitian yang dianggap universal adalah sampah. Sampah ada di segala penjuru dunia dan selalu dihasilkan oleh setiap individu dari dulu hingga sekarang, oleh tua dan muda serta oleh segala lapisan masyarakat. Mula pertama memang penelitian sampah dipandang sebelah mata oleh banyak pihak. Namun begitu hasil riset dipublikasikan, sambutan positif banyak berdatangan. Maka kemudian studi tentang sampah dikembangkan ke arah penerapan yang lebih luas.
Garbology
Di sejumlah negara, penelitian ilmiah terhadap sampah berhasil memecahkan masalah sosial budaya terhadap masyarakatnya. Bahkan di AS sejak lama berkembang cabang arkeologi yang disebut Arkeologi Persampahan (Garbage Archaeology) atau disingkat Garbology.
Pelopor Garbology adalah Dr. William Rathje dari Universitas Arizona. Ketika itu bersama timnya, Rathje meneliti ribuan ton sampah. Dia memakai teknik arkeologi untuk mempelajari sampah masyarakat modern dalam rangka memperoleh gambaran yang lebih pasti tentang masyarakat masa sekarang.
Prosedur kerja Garbology adalah memilah-milah sampah berdasarkan susunan klasifikasi yang telah dibuat, yakni fungsi, bahan, komposisi, dan model-model tertentu yang telah dikenal masih berlaku pada masyarakat tersebut. Pada awalnya, usaha penelitian ditekankan pada sampah jenis tertentu. Namun dalam perkembangannya, penelitian diterapkan pada jenis sampah apa saja. Rathje dan timnya berhasil mengumpulkan fakta yang luar biasa mengenai susunan makanan, materi yang dipakai, serta perbedaan sosial antara si kaya dan si miskin (Chaksana AHS, Buletin Romantika Arkeologia dan Paul Devereux, Arkeologi).
Metode Rathje kemudian banyak dicontoh oleh ilmuwan-ilmuwan dari disiplin lain. Bahkan metode tersebut telah memberi masukan penting kepada pakar sosiologi AS. Sebagai contoh, ketika meneliti sekelompok masyarakat imigran Meksiko dari “kelas bawah” dibandingkan dengan “kelas menengah ke atas” didapat hasil yang sungguh mencengangkan. Tidak disangka-sangka, ternyata “kelas bawah” lebih memerhatikan perkembangan anak-anak mereka dengan memberikan asupan makanan bergizi tinggi. Sebaliknya, masyarakat “kelas menengah ke atas” banyak mengonsumsi makanan dengan variasi lebih besar, namun kurang memerhatikan gizi.
Situs Permukiman
Menurut arkeolog AS Brian M. Fagan, memelajari pola perilaku manusia atau masyarakat sebagai salah satu aspek dalam kehidupan berbudaya umat manusia, selalu menggairahkan. Bahkan usaha untuk dapat merekonstruksi pola perilaku kehidupan masa lalu sudah menjadi bagian atau salah satu tujuan utama yang ingin dicapai para arkeolog (In the Beginning: An Introduction to Archaeology, 1975).
Dalam mencapai upaya di atas, arkeologi banyak berurusan dengan data berupa sisa-sisa peninggalan masyarakat masa lalu. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui kronologi atau pertanggalan suatu benda. Selain itu untuk memberi gambaran tentang tingkah laku pembuat dan pemakai benda tersebut.
Pola tingkah laku yang pertama-tama dipelajari, tentunya yang langsung berkaitan dengan temuan-temuan yang didapatkan di lapangan. Setelah itu dikaitkan dengan pola tingkah laku buat – pakai – buang. Melalui pola ini arkeologi memelajari perlakuan yang dialami oleh suatu artefak mulai dari saat dibuat, dipakai, hingga dibuang. Dasar pengamatannya adalah teknologi semata.
Arkeologi yang menggunakan pandangan seperti itu berlangsung selama puluhan tahun. Baru sekitar 1950-an berkembang pandangan yang menuntut agar kajian terhadap temuan-temuan arkeologi mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas, misalnya menggunakan pendekatan konjungtif seperti yang diungkapkan Taylor (1948).
Schiffer (1976) kemudian berusaha meluaskan wawasan teori-teori sebelumnya dengan berusaha melacak perlakuan yang dialami oleh suatu artefak dari saat dibuat hingga ditemukan oleh manusia masa kini, termasuk seluruh rangkaian prosesnya. Selanjutnya dia memperkenalkan suatu studi proses pembentukan budaya.
Menurut pendapatnya, arkeologi harus mulai mempertimbangkan faktor-faktor yang terjadi sesudah benda dibuang hingga ditemukan kembali. Arkeologi, katanya, perlu pula mengetahui konteks apa atau di mana artefak yang ditemukan itu berada. Apakah berada dalam konteks arkeologis, artinya benda tersebut tidak berperan lagi dalam kegiatan masyarakat yang berlangsung saat ini ataukah masih berada dalam konteks sistem, artinya benda masih berperan pada masyarakat masa kini.
Dalam arkeologi, penemuan lubang sampah merupakan hal yang amat berguna karena sampah selalu dihubungkan dengan situs permukiman. Penemuan situs permukiman akan mengungkapkan banyak hal seperti luas kota (planologi), jumlah penduduk (demografi), dan mata pencarian hidup (ekonomi). Sampai kini penemuan situs permukiman masih amat langka.
Di Indonesia dampak sosial budaya sampah, pernah diteliti oleh sejumlah arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional pada 1980-an lalu. Cara penelitian yang mereka lakukan adalah mendatangi rumah-rumah penduduk dari berbagai lapisan sosial. Mereka juga memeriksa tempat-tempat pembuangan sampah di depan rumah hingga TPA. Untuk mendukung penelitian, selama berhari-hari mereka mengamati tingkah laku penumpang bis kota dan pengunjung Taman Impian Jaya Ancol.
Dari jenis, kualitas, dan kuantitas sampah, mereka berhasil menggambarkan status sosial dan jumlah penghuni rumah. Misalnya demikian, kalau yang ditemukan berupa bungkus mi instan, kemungkinan besar penghuninya berasal dari golongan kecil. Sebaliknya kalau berupa botol wine atau sampagne, maka penghuni rumah adalah warga asing.
Selain itu para peneliti berhasil mengidentifikasi pola tingkah laku penumpang dan pengunjung. Kesimpulan mereka antara lain pola tingkah laku membuang sampah berhubungan dengan kedisiplinan.
Penelitian terhadap sampah masa kini dan masa lalu pada dasarnya dapat membuat perkiraan tentang arah dan kecenderungan perkembangan dalam masyarakat. Bahkan sampah dapat memberi bukti yang nyata tentang apa yang dilakukan masyarakat. Kita harapkan di suatu saat para arkeolog yang bekerja di lapangan akan menemukan situs-situs persampahan. Dengan demikian sampah-sampah kuno akan menjelaskan banyak hal untuk manusia masa kini. Kita harapkan juga penanganan sampah di Indonesia pada masa sekarang akan lebih “manusiawi” dan “ilmiah”. (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar