Sejak lama perairan Indonesia selalu menjadi ladang subur perburuan liar harta karun. Banyak penyelam tradisional dan nelayan lokal sering melakukan pengambilan benda-benda antik dari dasar laut. Berbagai sindikat internasional pun ikut terlibat di dalamnya. Mereka tidak lagi menggunakan kapal kecil, tetapi kapal besar lengkap dengan peralatan canggih.
Penjarahan ribuan potong keramik antik dan bermacam jenis harta karun dari kapal der Geldermalsen di Perairan Riau dan kapal Flor de Mar di Selat Malaka pada 1980-an, mulai membuka lembaran hitam dunia arkeologi bawah air (ABA) Indonesia. Selain kehilangan data sejarah penting, kita pun harus merelakan kekayaan bernilai jutaan dollar itu terbang ke kantong penjahat.
Pengambilan barang-barang antik dari dalam laut, tetap saja berlangsung diam-diam di perairan Indonesia hingga kini. Pada Februari 2006 lalu pihak kepolisian sempat menyegel sebuah gudang penyimpanan milik sebuah perusahaan di wilayah Tangerang. Terlepas dari legal atau ilegalnya kegiatan perusahaan tersebut, terbukti barang-barang antik dari dalam laut memang selalu menarik perhatian orang untuk mendapatkannya dengan cara apapun.
Tidak dimungkiri, kendala biaya menjadi penyebab mengapa pemerintah Indonesia tidak sanggup melakukan eksplorasi harta karun laut. Sebagai konsekuensinya, pada 1989 pemerintah Indonesia membentuk “Panitia Nasional untuk Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam”. Anggotanya terdiri atas unsur pemerintah dan swasta. Disepakati bahwa pihak investor akan melakukan eksplorasi dengan sistem bagi hasil. Sementara kapalnya disyaratkan tetap dibiarkan berada di lokasi aslinya untuk kepentingan pariwisata. Hanya isi kapal yang boleh diambil.
Perairan
Selain laut yang menempati jenjang paling atas, secara umum istilah perairan mencakup pula sungai, danau, dan semua bentuk himpunan besar air. Bawah air layak menjadi objek penelitian karena air memiliki sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sebagai ruang tinggal, dan sebagai ruang jelajah. Karenanya, tinggalan budaya yang terbenam di dasar perairan perlu ditangani serupa dengan arkeologi di daratan. Hanya cara kerjanya yang berlainan karena untuk ABA harus dilakukan penyelaman dengan peralatan khusus.
Istilah ABA pertama kali dicetuskan oleh George Bass pada pertengahan abad ke-20. Namun sebenarnya pencarian dan penelitian terhadap tinggalan di dasar air telah ada sejak lama. Penelitian kapal Caligula dari kerajaan Romawi di Italia, misalnya, telah dilakukan pada 1535 oleh Francisco Demarchi dengan teknik penyelaman sederhana (Nurhadi, 1987).
Penelitian ABA kemudian semakin berkembang seiring penemuan peralatan Scuba oleh Jacques-Yves Cousteau dan Emile Gagnan pada masa Perang Dunia II. Dengan peralatan selam tersebut kegiatan penelitian dapat berlangsung lebih lama dan menjangkau kedalaman yang lebih jauh. Dalam tahun-tahun pertama, penelitian ABA modern banyak dilakukan di perairan Laut Tengah yang kaya akan tinggalan budaya klasik Yunani dan Romawi.
Pada 1979 satu tenaga peneliti Indonesia, yakni Nurhadi, berkesempatan mengikuti latihan ABA yang dikaitkan dengan Arkeologi Maritim (AM) di Thailand. Penelitian itu dimulai pada 1980, ketika SPAFA (Organisasi Para Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ASEAN) menyelenggarakan program ABA dan AM.
Meskipun penelitian ABA pertama kali dibicarakan pada 1936, namun baru pada 1956 UNESCO mengeluarkan keputusan penting tentang ABA, sekaligus melaksanakan berbagai ekspedisi. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mulai menguji coba kegiatan ABA pada 1981, bekerja sama dengan pasukan katak dari Armada RI Wilayah Timur.
AM meliputi dua bidang garapan. Selain memelajari dan menangani segala tinggalan di bawah air, AM juga meneliti segala sesuatu yang terkait dengan kelautan dan pelayaran, namun datanya terdapat di daratan. Dengan demikian, situs di daerah pantai atau sungai dan kapal yang tertimbun tanah di daratan menjadi cakupan AM.
Di Indonesia AM yang mula-mula dikenal lewat penelitian perahu kuno dan ABA. Salah seorang pelopornya adalah Pierre-Yves Manguin, seorang pakar sejarah maritim dari Prancis. Manguin meneliti perahu kuno di Indonesia sejak 1977.
Banyak kendala yang menyebabkan ABA sulit terlaksana di Indonesia. Kendala terbesar adalah masalah tenaga, biaya, dan hukum laut. Sekadar gambaran, untuk penyelaman di laut dangkal (100-200 kaki atau 30-60 meter), dibutuhkan minimal empat orang bersertifikat. Untuk laut dalam, tentu lebih banyak lagi, termasuk biaya yang dikeluarkan.
Mahal
Di sejumlah negara maju ABA sering kali dimanfaatkan untuk meneliti sumur kuno, kolam kuno, pelabuhan, kota yang tenggelam, dan kapal-kapal karam. Dibandingkan arkeologi daratan, hasil-hasil temuan ABA menjadi lebih berharga karena materi organik dapat bertahan lebih lama di air daripada di udara.
Sisa-sisa teknologi dan sistem maritim masa lalu sesungguhnya mempunyai banyak peluang untuk masih bisa diketahui melalui tinggalan-tinggalannya yang terdampar di dasar laut, sungai, atau danau. Untuk itu arkeolog harus menyelam ke dalam air, yang tentu saja memerlukan modal besar, ditunjang keberanian besar.
Meskipun bagian terbesar dari negara kita berupa perairan, namun ABA kurang mendapat perhatian di sini. Padahal menurut catatan-catatan kuno, lebih dari 400 kapal pernah tenggelam di seluruh perairan Indonesia. Kapal-kapal itu membawa muatan barang-barang berharga, seperti keramik, emas, perak, mutiara, dan timah dalam jumlah besar.
Bagaimanapun, Indonesia yang mempunyai perairan begitu luas, harus memiliki divisi ABA dan AM yang kuat. Usaha ke arah itu sebenarnya sudah dimulai dengan mengirimkan sejumlah arkeolog untuk menjalani pelatihan di mancanegara. Bahkan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pada kongres tahun 1999 telah mengeluarkan deklarasi bahwa ABA dan AM harus dikembangkan di Indonesia (Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, 2006).
Disayangkan, upaya tersebut belum maksimal karena berbagai teknik, seperti peningkatan keselamatan penyelaman, teknik pendokumentasian dalam air, dan teknik pengangkatan artefak belum didukung oleh peralatan yang memadai. Belum lagi bila temuan-temuan itu diangkat ke darat. Dalam hal ini diperlukan kemahiran untuk melakukan konservasi benda berdasarkan ragam bahannya. Juga kajian mengenai sebab-sebab kerusakan yang terjadi pada artefak-artefak temuan itu.
Pedoman utama pengangkatan artefak-artefak kuno dari dalam air adalah “pelestarian dulu, komersial belakangan”. Secara luas pelestarian berarti perlindungan, pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan di bidang ilmu pengetahuan. Ini karena tinggalan arkeologi dari kapal-kapal karam merupakan sumber informasi ilmiah yang kompleks dan beraneka ragam sehingga dapat digunakan untuk merekonstruksi kegiatan dan tata perilaku manusia.
Diharapkan para pakar bukan hanya melihat artefak-artefak yang ditemukan itu semata-mata merupakan koleksi benda-benda bersejarah yang mempunyai harga pasaran. Pengkajian mengenai teknologi pelayaran, beserta segala urusan yang terkait dengannya, seperti teknologi perkapalan dan sistem jalur-jalur pelayaran, ataupun sistem perdagangan lintas laut, juga harus dilakukan.
Di Indonesia penelitian ABA baru dalam taraf pengupasan lapisan lumpur dan pengambilan contoh tinggalan. Sampai sejauh ini belum mengarah kepada ekskavasi karena terkendala peralatan dan sarana penunjang sebagaimana disebutkan tadi.
AM dan ABA sesungguhnya bukan hanya mengurusi kapal karam. Bukan pula menangani pelelangan artefak-artefak yang diperoleh. Lebih jauh, AM dan ABA mencari data masa lalu dalam berbagai aspeknya.
Harta karun laut di negara kita sebenarnya sangat melimpah. Inilah harta karun yang sesungguhnya, bukan isapan jempol macam “harta karun Bung Karno” atau “harta karun peninggalan Jepang” seperti yang sering digembar-gemborkan. Untuk itu perlu ditangani secara serius. (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar