Tanpa gembar-gembor, tidak diketahui masyarakat luas, dan mungkin sudah dilupakan para arkeolog sendiri, tanggal 14 Juni 2005 ini merupakan ulang tahun ke-92 dunia arkeologi Indonesia. Sejarah arkeologi di Indonesia dimulai pada 14 Juni 1913 ketika pemerintah mendirikan Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie (Jawatan Purbakala). Secara garis besar Jawatan Purbakala mempunyai empat tugas pokok.
Pertama, menyusun, mendaftar, dan mengawasi peninggalan-peninggalan purbakala di seluruh kepulauan Indonesia. Kedua, membuat rencana dan mengambil tindakan terhadap bangunan-bangunan purbakala yang nyaris runtuh. Ketiga, melakukan pengukuran dan penggambaran terhadap semua peninggalan purbakala. Keempat, melakukan penelitian kepurbakalaan dalam arti seluas-luasnya.
Dalam perkembangan selanjutnya peninggalan arkeologi dimanfaatkan untuk dua kepentingan, yakni di bidang pendidikan dan kepariwisataan. Fungsi dan peranan peninggalan arkeologi tersebut dilandasi GBHN dan Tap MPR tahun 1988. Dinyatakan bahwa Tradisi dan peninggalan sejarah yang memberi corak khas kebudayaan bangsa serta hasil-hasil pembangunan yang mempunyai nilai perjuangan bangsa, kebanggaan dan kemanfaatan nasional perlu dipelihara dan dibina untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, semangat perjuangan dan cinta tanah air serta memelihara kelestarian budaya dan kesinambungan pembangunan bangsa.
Istilah peninggalan arkeologi dijabarkan secara luas oleh Undang-Undang Benda Cagar Budaya Nasional dan Undang-undang Lingkungan Hidup. Ironisnya, manakala ada produk hukum untuk melindunginya, semakin sering orang-orang tidak bertanggung jawab melakukan kejahatan terhadapnya. Kejahatan terhadap peninggalan arkeologi dikategorikan ke dalam enam kasus, yakni pencurian, penyelundupan, penyingkiran, penggusuran, penggalian liar, dan pengrusakan. Ini sudah terjadi sejak masih digunakannya Monumenten Ordonnantie, yakni Undang-undang Kepurbakalaan Hindia Belanda tahun 1931.
Pencurian
Kasus yang paling sering dialami dunia arkeologi sampai sekarang adalah pencurian. Pencurian besar-besaran mulai teridentifikasi pada 1960-an, ketika sejumlah arca dan berbagai ornamen diketahui hilang dari candi-candi di Jawa, seperti Plaosan, Sewu, Bhima, Siwa, Sambisari, Banyunibo, Morangan, dan Gambar. Kejahatan paling “sadis” adalah pencongkelan terhadap sekitar 200 relief dari kompleks percandian Gunung Penanggungan (Jawa Timur) pada 1980-an.
Pencurian paling sensasional terjadi pada 1987 ketika maling menggondol tujuh potong keramik antik dan langka dari Museum Nasional Jakarta. Pencurian benda-benda kuno pernah pula dialami Museum Trowulan, Museum Bali, dan Museum Negeri Sulawesi Tengah.
Bukan hanya benda di alam terbuka dan museum saja yang diincar orang. Benda-benda antik milik kolektor pun sering raib digasak pencuri. Sejumlah koleksi keris antik milik seorang kolektor, misalnya, pernah hilang pada 2002 lalu.
Pencurian pun bukan hanya berlangsung di daratan. Perairan atau lautan sering kali merupakan sasaran empuk para penjarah harta karun dari muatan kapal yang tenggelam, seperti yang terjadi di Tuban, Riau, Selat Malaka, Selat Sunda, Teluk Jakarta (kepulauan Seribu), dan Laut Banda.
Ada pencurian, sudah terang ada penadahnya. Beberapa benda arkeologi hasil curian pernah coba diselundupkan ke luar negeri. Memang aparat bea cukai sudah beberapa kali menggagalkan upaya penyelundupan barang antik. Namun tidak dimungkiri kalau benda-benda kuno yang lolos dari jangkauan aparat jauh lebih banyak. Terbukti banyak benda kuno ilegal tahu-tahu sudah berada di galeri, museum, bahkan balai lelang mancanegara, seperti yang terjadi pada arca Buddha dari Candi Borobudur yang akan dilelang Christie’s pada akhir Maret 2005 lalu di AS.
Di banyak daerah sering dijumpai penyingkiran terhadap peninggalan arkeologi. Benda-benda tersebut dipindahkan dari situs aslinya ke tempat lain. Ini karena adanya kepercayaan bahwa benda tersebut mempunyai nilai magis atau spiritual.
Karena pembangunan fisik yang begitu pesat, maka kemudian terjadi penggusuran terhadap bangunan-bangunan lama. Kini sebagian besar telah digantikan fungsinya oleh bangunan-bangunan modern. Korban “pencemaran purbakala” itu antara lain Hotel Des Indes dan Gedung “Societeit de Harmonie”(Jakarta), benteng Kuto Besak (Palembang), dan sebuah bangunan cagar budaya di Serang. Belum lagi “korban-korban” di beberapa kota besar, seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makasar, dan Medan.
Penggalian liar banyak terjadi di berbagai daerah dengan alasan mencari barang antik dan harta karun, terutama harta karun peninggalan Jepang, dana revolusi, dan Soekarno. Berbagai situs rusak atau berantakan karenanya. Kasus yang paling hangat (Agustus 2002) adalah penggalian (liar) untuk mencari harta karun Soekarno di situs Batutulis, Bogor, yang melibatkan seorang menteri.
Perbuatan negatif kategori pengrusakan umumnya dilakukan kaum remaja berupa corat-coret dan gores-menggores (vandalisme dan grafitisme) menggunakan alat tulis, cat, alat semprot, dan alat tajam. Biasanya yang tertulis berupa nama diri atau nama kelompok.
Selain itu banyak dijumpai “pemugaran” atau “renovasi” petilasan kuno yang dilakukan kaum paranormal atau “arkeolog dukun” berdasarkan “wangsit” yang mereka terima. Misalnya terhadap Candi Ceto, Candi Sukuh, Candi Jalatunda, dan Kolam Segaran. Pemugaran yang mereka lakukan jelas tidak bersifat ilmiah, sehingga menghilangkan aspek tekno-arkeologisnya.
Di luar Indonesia kejahatan terbesar terhadap peninggalan arkeologi terjadi karena perang atau konflik antargolongan. Contohnya Candi Angkor Wat di Kamboja, porak-poranda akibat perang saudara; arca-arca Buddha di Afghanistan, rusak ditembaki kaum Taliban; bangunan kuno di India, dibakar dan dirusak karena pertikaian etnis; gereja kuno di Betlehem, rusak dihujani peluru tentara Israel; dan warisan budaya Irak, hancur bahkan hilang karena Perang Teluk. Semoga di Indonesia tidak ada kasus demikian.
Motivasi
Ada sejumlah motivasi mengapa masyarakat melakukan kejahatan terhadap benda-benda purbakala. Motivasi yang paling utama adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya (faktor ekonomi). Dengan melakukan pencurian, penggalian liar, dan penyelundupan mereka mengharapkan hasil tinggi dari penjualan benda-benda itu. Begitu pula dengan merobohkan bangunan-bangunan bersejarah lalu membangun mal atau pusat perbelanjaan modern di atasnya. Semakin tahun semakin tampak faktor ekonomi lebih berperan daripada upaya pelestarian sejarah bangsa.
Motivasi berikutnya adalah kepercayaan “terhadap sesuatu yang sakral” sehingga orang menyingkirkan berbagai peninggalan arkeologis. Motivasi lainnya adalah kenakalan remaja, sebagaimana tergambar dari banyaknya corat-coret atau gores-menggores pada sejumlah kepurbakalaan.
Agar pencemaran demikian semakin berkurang, ada berbagai langkah yang harus kita tempuh, yakni tindakan preventif dan represif. Misalnya menambah personel polisi khusus kepurbakalaan dan menambah wawasan pengetahuan bagi aparat terkait, terutama polisi dan bea cukai. Biasanya modus operandi para penyelundup adalah terlebih dulu merusak barang asli pada bagian tertentu atau menambahkan sesuatu pada bagian-bagian lain untuk memberi kamuflase sebagai barang buatan baru.
Tindakan lain adalah menyebarluaskan informasi kepurbakalaan, memberikan ceramah, dan membimbing para pelajar. Semacam kegiatan penyuluhan arkeologi yang melibatkan para pelajar, guru, dan masyarakat.
Memang langkah demikian sukar sekali terlaksana dalam waktu singkat. Perlu proses agar masyarakat memiliki apresiasi terhadap berbagai peninggalan purbakala. Jika masyarakat sudah terapresiasi, maka bidang pendidikan dan kepariwisataan akan memetik manfaat besar dari peninggalan masa lampau. Tidak tertutup kemungkinan, wisata yang menjual keanekaragaman masa lampau itu akan mendatangkan banyak devisa bagi negara. Demikianlah refleksi di ulang tahun ke-92. Mudah-mudahan arkeologi semakin dikenal dan populer, tidak cuma bendanya yang menjadi bahan buruan kolektor. Tidak hanya bangunan-bangunan yang dianggap spektakuler yang dijadikan tambang duit dunia pariwisata. (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar