Kalau kita menyimak buku-buku sejarah, umumnya tertera nama Fatahillah sebagai pendiri kota Jakarta. Hubungan antara Fatahillah dengan pendirian kota Jakarta merupakan warisan Belanda. Kini, nama Fatahillah antara lain diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Jakarta Kota, tak jauh dari stasiun kereta api Beos.
Dalam buku-buku sejarah dikatakan pula, Fatahillah memiliki nama alias, yaitu Faletehan. Untuk menghormati kebesarannya, maka nama Faletehan pun kemudian diabadikan antara lain sebagai nama jalan di bilangan Kebayoran Baru, beberapa ratus meter dari terminal bis Blok M.
Sejumlah buku sejarah yang menggunakan sumber tertentu, memandang Fatahillah identik dengan Syarif Hidayat(ullah) atau Sunan Gunung Jati. Namun, menurut sumber lainnya, nama-nama tersebut saling berdiri sendiri.
Sejumlah pakar malah menganggap Fatahillah adalah tokoh mitos atau tokoh legenda yang pernah hidup pada suatu zaman. Dengan demikian sulitlah dipandang bahwa Fatahillah adalah pendiri kota Jakarta. Nama-nama yang berkenaan dengan Fatahillah, nama aliasnya, atau gelarnya ternyata sudah terlanjur banyak dipakai hingga sekarang. Selain sebagai nama jalan, nama Syarif Hidayat dikenal sebagai nama sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Nama Sunan Gunung Jati, lekat dengan Cirebon. Bahkan nama-nama tersebut juga banyak digunakan di provinsi Banten.
Historiografi
Sumber-sumber sejarah yang menyinggung tokoh Fatahillah ataupun Sunan Gunung Jati umumnya terdapat dalam sumber historiografi tradisional, seperti Babad Cerbon, Sajarah Banten, dan Carita Purwaka Caruban Nagari. Dalam Babad Cerbon dikatakan dari garis ayah (Sultan Bani Israil), Sunan Gunung Jati berasal dari tanah Arab, sementara dari garis ibu merupakan keturunan Raja Sunda-Pajajaran. Setelah menuntut ilmu di tanah Arab, dia bermukim di Cirebon. Selanjutnya dia menyebarkan agama Islam di Cirebon dan Banten.
Sajarah Banten menyebutkan tokoh Sunan Gunung Jati sebagai seorang yang keramat. Dia datang dari tanah Arab. Ayahnya berasal dari Yamani, sementara ibunya dari Bani Israil. Raja Cirebon saat itu bernama Makdum, berasal dari Pasai (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III dan berbagai buku karangan H.J. de Graaf).
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, tokoh dari Pasai itu bernama Fadhillah Khan. Dia lahir pada 1490. Sementara itu, tokoh Sunan Gunung Jati adalah nama lain dari Syarif Hidayat. Dia lahir pada 1448 di Mekah dan tiba di Cirebon sekitar 1470.
Di luar sumber dalam negeri, sumber luar negeri yang agak jelas menyinggung Fatahillah datang dari orang Portugis, Fernao Mendes Pinto. Dalam karyanya Peregrinacao, dia menyebutkan Tagaril sebagai Raja Sunda. Sosiolog dan sejarawan Dr. B.J.O Schrieke menafsirkan bahwa Tagaril merupakan suatu kekeliruan untuk Fagaril dan mungkin pula merupakan suatu metatesis untuk Fatahillah (=kemenangan Allah).
Secara antusias, Prof. Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, berpendapat Tagaril berhubungan dengan Fakhrillah sebagai bentuk ubahan dari Fakhrullah (=kemegahan Allah). Katanya pula, nama Faletehan atau Falatehan merupakan kekeliruan untuk menuliskan kata Fathan, berasal dari fathan mubinan (=kemenangan sempurna).
Baik sumber Portugis maupun sumber tradisi menyebutkan bahwa tokoh yang dikenal merebut (Sunda) Kalapa itu adalah seorang Muslim kelahiran Pasai. Dalam sumber tradisi dia dikenal dengan nama Ratu Bagus Paseh, Tubagus Paseh, Wong Agung Sabrang, Fadhillah Khan, atau Pangeran Pase. Sementara dari sumber Portugis dia dikenal dengan nama Faletehan, Falatehan, atau Tagaril. Apakah kesemua nama itu mengacu kepada satu orang, yakni Fatahillah, sampai kini belum jelas benar.
Menurut para peneliti, nama Fatahillah tidak pernah ditemukan dalam naskah-naskah kuno. Orang pertama yang menampilkan Fatahillah sebagai nama tokoh sejarah adalah Schrieke. Dia mengaitkan tokoh tersebut dengan tokoh yang berhubungan dengan sejarah kota Jakarta pada masa awal Islamisasi.
Kajian menarik pernah datang dari Prof. Slamet Muljana. Dalam bukunya yang diterbitkan ulang (terbit pada 1968, kemudian diberangus rezim Orde Baru), Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (LKiS, 2005), dia menafsirkan bahwa Fatahillah adalah seorang muslim China yang sebelumnya bernama Toh A Bo alias Pangeran Timur. Pendapat Muljana itu didasarkan pada data berupa kronik Tionghoa yang berasal dari kelenteng Semarang dan kelenteng Talang (Cirebon).
Menurut Muljana, semula Syarif Hidayat Fatahillah adalah panglima tentara Demak. Tokoh ini identik dengan Sunan Gunung Jati. Toh A Bo adalah putra Sultan Trenggana, Tung Ka Lo. “Fatahillah adalah orang kelahiran Demak dan berasal dari bangsawan tinggi, yakni putra Sultan Demak,” demikian Muljana (hal. 232).
Nama Fatahillah kemudian dipakai oleh Toh A Bo ketika dia dinobatkan sebagai Sultan Banten. “Tidak dapat dikatakan dengan pasti kapan Fatahillah menjadi sultan. Yang pasti pada 1552 dia meninggalkan Banten dan menetap di Cirebon serta mendirikan kesultanan Cirebon. Kesultanan Banten dia serahkan kepada putranya, Hasanuddin. Pada 1570 Fatahillah wafat dan dimakamkan di Sembung, Bukit Gunung Jati,” begitu tafsiran Muljana.
Banyak pakar sampai kini masih menyangsikan tokoh Fatahillah, Faletehan, dan Syarif Hidayat. Benarkah dia seorang tokoh sejarah sekaligus pendiri kota Jakarta dan mengacu pada satu nama yang sama? Benarkah dia seorang muslim China? Meskipun tafsiran kontroversial Muljana belum tentu salah, seyogyanya ada penelitian khusus yang mendalami masalah tersebut. Inilah PR besar yang mesti diselesaikan tuntas oleh Pemprov DKI Jakarta, tentunya bersama para peneliti berkompeten. Ataukah Pemprov DKI Jakarta tidak mau peduli dengan masalah ini, sehingga Jakarta akan menjadi kota besar tanpa jati diri? (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar