Tanyakan kepada murid-murid sekolah dasar, bilamanakah kota Jakarta didirikan? Sudah pasti, secara serempak mereka akan mengatakan 22 Juni 1527.
Penetapan hari jadi Jakarta itu didasarkan atas perhitungan Prof. Soekanto. Dia beranggapan bahwa nama Jayakarta, cikal bakal nama Jakarta itu, diberikan pada 22 Juni 1527.
Dalam penafsiran yang masih dianggap kontroversi karena menggunakan penanggalan Islam--bukan penanggalan Hindu Jawa seperti yang digunakan para pakar sebelumnya--, Soekanto mengemukakan pendapatnya berdasarkan pranatamangsa, yakni penanggalan yang ada hubungannya dengan pertanian di Jawa. Menurut kesimpulan Soekanto, nama Jayakarta sebagai pengganti Sunda Kalapa diberikan pada “tanggal satu mangsa kesatu”, yakni pada 22 Juni 1527, saat masa panen berlangsung (Dari Djakarta ke Djajakarta, 1954).
Namun pendapat Soekanto tersebut kemudian ditentang oleh Prof. Hoesein Djajadiningrat. Dia mengatakan bahwa pergantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta terjadi pada 17 Desember 1526. Peristiwa itu bertepatan dengan perayaan Maulud 12 Rabiulawal tahun 933 H. Antusiasme Djajadiningrat untuk menetapkan tanggal itu adalah karena perayaan Maulud tersebut jatuh pada hari Senin, bertepatan dengan lahir dan wafatnya Nabi Muhammad yang juga jatuh pada hari Senin (“Hari Lahirnja Djajakarta”, Bahasa dan Budaya, V (1), 1956: 3-11).
Polemik antara kedua sarjana itu berlangsung lama. Secara politis memang Soekanto “menang”. Namun secara ilmiah belum tentu Djajadiningrat “kalah”. Teori-teori lain pun terus bermunculan sesudah polemik itu.
Di antara berbagai teori, yang paling mengemuka adalah teori Prof. Slamet Muljana. Dia berpendapat, “Belum ada data sejarah pasti untuk membenarkan salah satu hipotesis tersebut”. Kemudian dia ikut mengemukakan pendapat yang dituangkan dalam bukunya Dari Holotan ke Jayakarta (Yayasan Idayu, 1980).
Salah satu acuan yang digunakannya adalah kitab Carita Purwaka Caruban Nagari (PCN) yang ditemukan di Indramayu tahun 1972. Muljana menguraikan bahwa pada zaman Sultan Hasanuddin (yang mulai memerintah Banten pada 1552), dia mengangkat menantunya Ki Bagus Angke menjadi bupati Sunda Kalapa. Dari cerita ke cerita, selanjutnya dikatakan bahwa Ki Bagus Angke mempunyai putra bernama Sungarasa Jayawikarta. Nama Jayawikarta ternyata dicatat pula dalam salah satu Babad Banten, namun dengan nama Pangeran Wijayakarta.
Pangeran Wijayakarta atau Jayawikarta kemudian memperoleh nama abhiseka (penobatan) Wijayakrama. Maka setelah menjadi bupati Sunda Kalapa, Wijayakarta atau Jayawikarta diwisuda sebagai Pangeran Jayakarta Wijayakrama.
Mengacu kepada nama-nama seperti Hollandia di Papua menjadi Sukarnopura (Kota Sukarno) atau Petersburg di Rusia menjadi Leningrad (Kota Lenin), maka menurut Muljana, tidak mustahil bahwa toponim Jayakarta sebagai ganti toponim Sunda Kalapa, semula adalah nama pribadi pembesar yang menguasai Sunda Kalapa, yakni Pangeran Wijayakarta atau Jayawikarta. Perkembangan toponimnya kemudian menjadi Jayakarta (Kota Kemenangan) dan Jakarta.
“Jika pendapat di atas benar, maka perubahan nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta berlangsung pada akhir abad ke-16, ketika Pangeran Jayakarta mulai menetap di Sunda Kalapa,” demikian Muljana.
Disebutkan pula, menurut sumber berita Kompeni, tempat kediaman Pangeran Jayakarta adalah di belakang pelabuhan Sunda Kalapa di tepi Sungai Ciliwung. Tempat itulah yang mula-mula disebut Jayakarta, karena tempat itu adalah tempat kediaman Pangeran Jayakarta.
Selanjutnya toponim Jayakarta muncul dalam piagam yang berasal dari Banten. Mengutip pembacaan seorang epigraf (pakar bahasa dan tulisan kuno) Belanda van der Tuuk, Muljana mengatakan piagam Banten antara lain menyebutkan istilah wong jakerta dan wong jayakerta (hal. 64).
Adanya toponim jakerta dan jayakerta, setidaknya memberi petunjuk bahwa toponim Jayakarta telah ada sebelum kedatangan orang Belanda di Indonesia. Sebenarnya, tarikh piagam Banten itu dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan hari lahir Jayakarta. Sayangnya, bagian yang menyebutkan tarikh telah rusak. Namun dari isinya Muljana menganalisis bahwa piagam Banten dikeluarkan pada awal abad ke-17. Ini karena pada piagam itu tercantum kata kumendur, berasal dari kata commander. “Oleh karena itu boleh dipastikan bahwa piagam itu dikeluarkan sesudah tahun 1602, ketika orang Belanda telah datang di Indonesia,” kata Muljana.
Dalam laporan Cornelis de Houtman pada 1596, toponim Jayakarta juga muncul. Dia menyebut bahwa Pangeran Wijayakrama adalah koning van Jacatra (=raja Jakarta). Dari laporan itu tergambar bahwa nama Jacatra atau Jakarta merupakan nama tempat atau nama kota. Dibandingkan Soekanto dan Djajadiningrat, memang Muljana tidak secara pasti mengungkapkan bilamanakah mulai terjadi pergantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.
Anehnya, meskipun pernah terjadi polemik yang berkepanjangan antara Soekanto dengan Djajadiningrat, Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja sudah keburu menuangkan SK tertanggal 23 Februari 1956 terhadap hasil penelitian Soekanto. Hal tersebut pernah membuat heran para peneliti sejarah dan pejabat negara, termasuk Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo waktu itu. Bahkan sewaktu menghadiri perayaan pertama hari ulang tahun Jakarta pada 1956, Ali Sastroamidjojo setengah mengejek terhadap “peringatan ganjil” itu.
Keputusan 1956 itu dipandang sebagai “kemenangan Sudiro” yang waktu itu menjabat Walikota Djakarta Raja. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo kemudian memertanyakan, “Mengapa perdebatan historis diselesaikan dengan keputusan politis” (Adolf Heuken, Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, hal. 27-28).
Sebenarnya, ketiga pendapat tersebut pun masih diragukan. Soekanto dan Djajadiningrat berawal pada tafsiran Fatahillah, tokoh yang dianggap masih mitos karena sumbernya hanya berupa kitab-kitab babad dan kitab modern. Pendapat Muljana pun perlu dipertimbangkan, mengingat makam Pangeran Jayakarta ada di beberapa tempat, seperti di Banten, Jatinegara, dan Kota.
Apakah Pangeran Jayakarta terdapat lebih dari satu? Pangeran Jayakarta mana yang berhubungan dengan sejarah Jakarta? Bilamanakah Jakarta didirikan, mengingat adanya perbedaan waktu yang terlalu jauh antara teori Soekanto dan Djajadiningrat dengan teori Muljana? Meskipun nama Pangeran Jayakarta sudah diabadikan sebagai nama jalan, karena di kawasan itu terdapat makam tua yang dianggap Pangeran Jayakarta, tentulah bukan berarti kita harus melegitimasi bahwa Pangeran Jayakarta adalah pendiri kota Jakarta.
Semestinya, penelitian hari lahir Jakarta tidak hanya bertumpu pada sumber-sumber sejarah (tertulis). Penelitian arkeologi (nontertulis) pun perlu banyak dilibatkan secara berkesinambungan, mengingat perkembangan kota Jakarta begitu pesat. Apalagi dipastikan, banyak situs sejarah dan arkeologi akan segera tertutup oleh pembangunan fisik dalam beberapa tahun ke depan. (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar