Masalah pornografi dan pornoaksi mulai mencuat ketika sejumlah penyanyi dangdut wanita dituding telah melakukan “goyang heboh” beberapa waktu lalu. Mereka dinilai telah melanggar prinsip-prinsip kesusilaan dengan memainkan gerakan yang tidak senonoh, tidak sesuai dengan adat ketimuran, menyinggung martabat wanita, dan berbagai alasan lain. Pro dan kontra pun muncul.
Sebenarnya masalah pornografi dalam arti luas telah merebak sejak lama, sekitar 1970-an, ketika sejumlah “koran kuning” sering menampilkan foto-foto wanita syur dan berpakaian seksi. Selama bertahun-tahun, bahkan sampai awal Februari 2006 saat pihak kepolisian merazia penjualan “koran kuning”, foto-foto “sekwilda” dan “bupati” telah mampu menaikkan tiras sejumlah “koran kuning”. Bahkan telah memopulerkan si model untuk meniti karir lebih tinggi.
Masalah “goyang heboh”, “koran kuning”, ditambah rencana terbitnya majalah Playboy versi Indonesia tak dimungkiri menjadi salah satu pemicu pihak DPR untuk menggulirkan RUU Antipornografi dan Antipornoaksi. Mulai pertengahan Januari 2006 lalu, DPR mengadakan dengar pendapat dengan sejumlah artis dan seniman untuk mengetahui sejauh manakah batasan-batasan pornografi dan pornoaksi.
Definisi
Sampai saat ini definisi porno masih simpang siur. Tapi kemungkinan besar yang termasuk kategori porno adalah gambar yang memerlihatkan payudara dan alat kelamin. Lalu bagaimana kalau orang itu berpakaian seronok, bikini, minim, atau tembus pandang? Layak tidaknya disebut porno rupanya masih mengundang perdebatan.
Ironisnya, wanita yang berpakaian minim justru menjadi daya tarik konsumen. Misalnya saja hampir semua pegawai SPG (Sales Promotion Girls) selalu memakai rok mini.
Kesulitan membuat definisi porno juga disebabkan masih ada beberapa suku bangsa di Indonesia yang belum mempunyai tradisi berpakaian. Di pedalaman Papua, misalnya, kaum pria hanya berkoteka dan kaum wanitanya bertelanjang dada. Wanita bertelanjang dada juga masih bisa dijumpai di pedalaman Bali dan Kalimantan.
Di Indonesia hal-hal yang dianggap memamerkan aurat memang masih ditabukan. Adanya Lembaga Sensor Film setidaknya memberi gambaran bahwa kebudayaan luar harus disaring terlebih dulu sebelum sampai kepada masyarakat. Penyensoran juga pernah dilakukan terhadap patung-patung kuno Yunani yang berwujud pria telanjang ketika dipamerkan pada sebuah museum di Jakarta tahun 2004 lalu. Dalam hal ini bagian alat kelamin patung ditutupi dengan kain putih.
Sebaliknya di mata seniman, ketelanjangan justru dianggap bagian dari seni. Karena itu mereka banyak menghasilkan lukisan wanita telanjang dan patung telanjang tanpa ada protes dari siapa pun.
Simbol
Pada zaman dulu, ketelanjangan adalah simbol kesuburan. Artefak-artefak purba dari masa ribuan tahun yang lalu, seperti lingga dan yoni, setidaknya menyiratkan hal demikian. Lingga adalah simbol alat kelamin pria, sedangkan yoni simbol alat kelamin wanita. Persatuan lingga dan yoni merupakan lambang kesuburan atau kehidupan manusia.
Banyak candi di Jawa diketahui memiliki lingga dan yoni sebagai atribut utamanya. Lingga juga dipandang sebagai lambang Dewa Siwa, sedangkan yoni lambang isterinya. Karena Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi (karena peranannya sebagai dewa perusak alam), maka lingga pun mempunyai peranan yang serupa. Banyak disembah atau dipuja oleh penganut Siwaisme.
Perwujudan lingga dan yoni yang paling kentara bisa dilihat dari bentuk Tugu Monas di Jakarta. Bagian tugunya menyimbolkan lingga atau alu, sedangkan bagian cawannya menyimbolkan yoni atau lumpang. Sebagaimana cita-cita Presiden Soekarno, diharapkan Tugu Monas akan membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Mengagumi Tugu Monas tentu bukan berarti kita melihat kepornoan. Justru penyimbolannya yang patut diresapi dalam-dalam.
Masa klasik sejarah Indonesia, yakni dari abad V hingga XVI, banyak mewariskan arca wanita bertelanjang dada. Wujudnya adalah seorang dewi. Penggambaran payudaranya kentara sekali dan terlihat montok, karena dipercaya itulah lambang kesuburan yang sejati. Kata payudara sendiri berasal dari bahasa Sansekerta payodhara, berarti “yang mengandung air atau susu”.
Sebagai dewi kesuburan, berbagai arca seperti itu banyak ditempatkan di candi-candi. Bahkan pada beberapa petirtaan (kolam) kuno, air yang keluar sengaja dipancarkan dari payudara sang dewi. Karena terus-menerus mengeluarkan air, maka penduduk setempat sering menyebutnya “sumber tetek”.
Air yang berasal dari “sumber tetek” memang terbukti sampai sekarang benar-benar air kehidupan. Dalam beberapa kali musim kemarau panjang, hanya air dari “sumber tetek” yang tetap mengalir. Di saat air bendungan menyusut atau air sumur mengering, “sumber tetek” menjadi satu-satunya harapan penduduk. Ya, di samping kearifan jasmaniah, kearifan lingkungan pun berperan besar.
Membicarakan kepornoan, tentu kurang sreg apabila tidak menyinggung Candi Sukuh. Sejak lama Candi Sukuh dipandang sebagai candi erotis karena memiliki hiasan candi yang di luar kebiasaan. Beberapa relief (gambar timbul) berwujud alat kelamin pria dan alat kelamin wanita tergambar jelas.
Pada hakikatnya, candi itu menggambarkan proses kehidupan manusia, bukan memamerkan kepornoan. Pada waktu pembuatannya tentu saja tidak ada bayangan memamerkan kepornoan atau gambar jorok. Hanya orang-orang zaman sekarang yang membuat mitos bahwa Candi Sukuh “berfungsi” untuk menguji kegadisan seorang wanita.
Penggambaran alat kelamin pria yang naturalistik (phallus) juga banyak terdapat pada berbagai situs arkeologi. Penggambaran demikian mempunyai sejumlah falsafah, seperti kekuatan, kelembutan, dan kesuburan. Banyak falsafah lain juga terkandung dari karya seni masa purba.
Berbeda dengan Indonesia, penggambaran relief cerita di India terbilang sangat vulgar. Penggambaran adegan porno banyak terdapat pada bagian muka Kuil Dewi Jagadambi di Khajuraho yang berasal dari abad X. Selain berbagai gambar wanita cantik yang merangsang birahi, kuil itu juga dipenuhi gambar percintaan. Kuil Khajuraho adalah kuil penganut aliran Tantri dalam Hinduisme. Persetubuhan dianggap sebagai lambang persatuan makhluk dunia dengan yang ilahi (India Yang Bersejarah, 108). Gambar-gambar demikian diperkirakan diambil dari Kamasutra, kitab yang dianggap ensiklopedia tentang bermain cinta.
Mungkin, seperti pada zaman sekarang, pada zaman dulu pun ada “lembaga sensor” sehingga gambar-gambar vulgar seperti di Kuil Khajuraho tidak sampai masuk ke Indonesia. Padahal pengaruh-pengaruh India lainnya begitu mendarah daging sebagaimana terlihat pada bangunan-bangunan candi.
Waktu terus berjalan dan berkembang. Dulu, payudara dan alat kelamin adalah gambar yang realistik. Tak sedikit pun berkesan porno. Malah dianggap sebagai “kesuburan dan kehidupan yang utama”. Entahlah, apakah artefak-artefak kuno seperti itu menjadi bagian dari pembicaraan RUU Antipornografi dan Antipornoaksi atau tidak. (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar