Sungguh memilukan melihat kondisi gedung kuno Candra Naya di Jalan Gajah Mada, Jakarta. Atapnya pecah di sana sini. Temboknya kotor dan berlumut. Kayu-kayunya lapuk terkena gerusan waktu. Ruangan dalamnya jelas menunjukkan bangunan itu tak terurus lagi.
Padahal Candra Naya merupakan bangunan cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Penetapannya didasarkan SK Gubernur DKI Jakarta tahun 1972, lalu diperkuat SK Mendikbud tahun 1988. Terakhir, dipertegas lagi oleh Undang-undang Benda Cagar Budaya Nasional (UUBCB) tahun 1992.
Menurut UUBCB, benda cagar budaya diistilahkan sebagai benda buatan manusia, bergerak dan tidak bergerak, baik berupa kesatuan maupun kelompok. Bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas, juga disebut benda cagar budaya. Demikian pula jika mewakili gaya sekurang-kurangnya 50 tahun atau dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Gedung kuno Candra Naya dimasukkan sebagai benda cagar budaya karena memiliki arsitektur China yang khas. Saat bangunan-bangunan berarsitektur China lainnya dirobohkan untuk pembangunan jalan tol dan pertokoan di daerah Pasar Pagi serta pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan di wilayah Senen, gedung Candra Naya tetap dipertahankan keberadaannya.
Hingga akhir 1992 Candra Naya masih digunakan untuk kegiatan sekolah. Namun sejak 1993 mulai datang kemelut ketika keturunan Khouw, pemilik Candra Naya, meminta kembali gedung tersebut. Tak lama setelah itu pembangunan gedung bertingkat untuk apartemen dan pusat perbelanjaan di sisi kanan kiri gedung Candra Naya mulai dilaksanakan.
Rupanya seluruh tanah dan bangunan di kompleks Candra Naya akan dijual, sebagai perluasan kedua gedung tadi. Namun proyek pembangunan tersebut terhenti karena adanya krisis moneter 1997.
Tak dimungkiri, sang pemilik tanah dan juga sang pembeli, lebih mengutamakan aspek bisnis daripada aspek historis. Akhirnya, halaman kompleks Candra Naya yang tadinya demikian luas, kini hanya menyisakan bangunan induk.
Bertahun-tahun Candra Naya dibiarkan tak terurus. Ada dugaan penelantaran Candra Naya dimaksudkan untuk melicinkan jalan bagi pembongkaran gedung itu. Sebelumnya, sejak dibeli oleh suatu kelompok bisnis, investor telah diwanti-wanti oleh berbagai kalangan agar bangunan induknya tetap terjaga baik.
Semula, ada rencana gedung itu akan dipindahkan ke Taman Mini. Namun upaya pelecehan sejarah ini mendapat tentangan keras dari kalangan arsitek, sejarawan, arkeolog, dan budayawan. Banyak anggota DPRD juga tidak menyetujui rencana pemindahan gedung. Termasuk “orang kuat” Jakarta, Gubernur Sutiyoso, yang berjanji akan mempertahankan gedung tua itu karena merupakan aset budaya Jakarta yang bernilai historis.
Feng Shui
Candra Naya dibangun pada abad ke-18. Pemilik pertama gedung itu adalah seorang saudagar asal Tegal, Khouw Tjun. Seterusnya keluarga Khouw menguasai gedung itu.
Banyak peristiwa bersejarah berlangsung di gedung itu. Pada 1946 berdiri Perhimpunan Sinar Baru (Sin Ming Hui) yang bergerak di bidang sosial. Masa berikutnya berdiri gedung sekolah, lembaga fotografi, dan klub bridge. Lembaga Fotografi Candra Naya dikenal luas sebagai tempat pendidikan yang menghasilkan fotografer-fotografer ternama Indonesia saat ini. Sedangkan klub bridgenya banyak menelurkan pemain berkaliber nasional.
Candra Naya juga berperan dalam sejarah pendidikan. Pada awalnya pendirian Universitas Tarumanagara dibicarakan di sini, termasuk RS Sumber Waras. Tahun 1960-an hingga 1970-an Candra Naya pernah menjadi tempat penyelenggaraan pesta-pesta pernikahan yang bonafide. Sebelum menjamurnya gedung-gedung resepsi khusus, Candra Naya tidak pernah sepi dari pesanan para pengantin.
Sejak populernya ilmu feng shui di Indonesia, keberadaan gedung Candra Naya rupanya juga tak lepas dari aspek-aspek itu. Pada awalnya ahli feng shui yang disewa oleh sang pengusaha melihat bahwa gedung itu membawa sial atau kerugian (Akino W. Azzaro, Kompas Cyber Media). Dia kemudian merekomendasikan agar untuk mengamankan dan meningkatkan nilai investasi, maka Gedung Candra Naya harus disingkirkan sesegera mungkin.
Tak dimungkiri kalau analisis sang ahli feng shui berdasarkan pola energi lama sesuai dengan periode pendirian Candra Naya. Dari hasil kalkulasinya, kemungkinan besar pola energi lama yang dibawa Gedung Candra Naya dianggap kurang fit dengan pola energi yang berkuasa saat ini. Padahal kata Akino yang juga ahli feng shui, pola energi lama Gedung Candra Naya sudah berubah saat kedua sayap kanan dan kiri bangunan induk dirobohkan. Gedung Candra Naya pun sudah dikosongkan sejak 1997.
Akino tidak yakin kalau Gedung Candra Naya memiliki feng shui buruk. Kalau buruk, katanya, tentu tidak akan terjadi berbagai aktivitas yang demikian besar selama bertahun-tahun.
“Sebaiknya kita tidak berpikir bagaimana menyingkirkan Candra Naya, tetapi bagaimana memanfaatkan Candra Naya sebagai ikon untuk menarik pengunjung dan membuat bisnis menjadi lebih hidup,” tutur Akino.
Dana
Sebagai benda cagar budaya yang berada di wilayah Jakarta, tanggung jawab pemeliharaan tentu berada di bawah Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta. Namun apakah instansi itu memiliki dana pemeliharaan yang cukup?
Sebenarnya pemeliharaan Candra Naya boleh saja dilakukan pihak swasta, misalnya bekerja sama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Setelah itu difungsikan sebagai museum atau tempat-tempat pameran seni/kebudayaan. Tapi siapa yang mau mengeluarkan biaya perbaikan dan investasi karena nilai komersialnya tidak ada atau terlalu kecil.
Kini Candra Naya ibarat rumah kumuh yang berdiri di antara gedung pencakar langit. Mudah-mudahan di Indonesia ada “Heritage Fund” yang membiayai pelestarian bangunan-bangunan kuno. Ataukah kita membiarkan saja Candra Naya menjadi saksi sejarah pesatnya pembangunan kota Jakarta, lalu sedikit demi sedikit ambruk karena tidak adanya apresiasi dari masyarakat? (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar