Koleksi benda-benda purbakala, sejarah, seni, dan budaya asal Indonesia banyak terdapat di mancanegara. Salah satunya adalah di Museum Etnologi Dahlem (Berlin), Jerman. Dari 50.000 objek yang berasal dari Asia, sekitar tiga per empatnya merupakan benda-benda budaya dari Indonesia.
Sejak lama Museum Berlin sudah menjadi museum bertaraf internasional dan merupakan tujuan kunjungan wisatawan mancanegara. Museum Berlin terbilang maju pesat karena ditangani sumber daya manusia yang terampil, dibantu perkembangan teknologi yang modern. Kondisi ruangannya begitu bersih dan terpelihara dengan baik. Karena itu pengunjung Museum Berlin selalu membludak bahkan sering kali harus bersabar menunggu giliran antre karcis.
Penataan etalase di museum ini juga sangat rapi dan teratur. Koleksi asal Indonesia yang dipamerkan di sini diperoleh dari hampir semua propinsi, pulau, dan daerah. “Kami memiliki koleksi besar wayang, di antaranya wayang golek, wayang kulit, dan wayang klitik, berikut sejumlah besar topeng dan anyaman,” kata pimpinan museum itu, Dr. Wibke Lobo sebagaimana pernah disiarkan Radio Suara Jerman Siaran Indonesia belum lama ini.
Koleksi-koleksi itu dikumpulkan oleh orang-orang Jerman yang sering berkeliling Indonesia sejak abad ke-19. Awalnya, mereka sangat terpesona akan pertunjukan wayang, lantas mereka banyak membeli boneka wayang dan topeng. Apalagi benda-benda tersebut ringan, mudah diangkut, dan harganya relatif murah. Dengan cara itu koleksi wayang museum kami menjadi lengkap, demikian Lobo.
Adolf Bastian
Sebagian besar koleksi Museum Berlin merupakan milik Adolf Bastian, direktur pertama museum itu. Bastian merupakan seorang ahli antropologi, etnologi, dan dokter (1826-1905). Di kalangan ahli sejarah kebudayaan, Bastian dikenal sebagai seorang ahli tentang Indonesia (Indologi). Nama Indonesia dipercaya pertama kalinya diperkenalkan oleh Bastian.
Bastian banyak berkeliling dunia dan membuat laporan etnografi tentang bangsa-bangsa yang pernah dijumpainya. Dia sering mengunjungi Indonesia bahkan menulis buku tentang Indonesia. Karena tertarik dengan Asia, dia berkeinginan besar untuk mendokumentasikan karya seni dan kebudayaan.
Bastian berpendapat bahwa kebudayaan akan berubah karena pengaruh Barat dan kolonialisasi. Karena itu dia mengumpulkan sebanyak mungkin benda dan objek budaya, termasuk kerajinan tangan untuk mendokumentasikannya.
Menurut Lobo, para kurator museum sangat peduli sekali terhadap keselamatan dan perawatan koleksi. Koleksi-koleksi itu disimpan dalam kondisi iklim dan suhu yang memenuhi syarat. “Staf museum sangat berhati-hati dengan benda itu. Untuk memegangnya saja, mereka menggunakan sarung tangan. Dengan cara itu benda-benda tersebut dapat bertahan sampai ratusan tahun,” cerita Lobo.
Para kurator tidak saja bertanggung jawab terhadap pengadaan dan penelitian koleksi, tetapi juga meluaskan informasi melalui media massa. Setiap tahun Museum Berlin menyelenggarakan pameran tetap tentang Indonesia dan pameran khusus sesuai tema yang hendak dikemukakan.
“Dari segi ilmu museologi, museum bukan hanya tempat penyimpanan barang kuno, namun juga menjadi laboratorium penelitian sejarah budaya. Karena itu banyak kurator Museum Berlin mendalami pengetahuan tentang sejarah dan budaya Indonesia,” ungkap Lobo lagi.
Jakarta
Lain Berlin lain Jakarta. Di Berlin bersih dan rapi. Di Jakarta kotor dan semrawut. Begitulah kira-kira gambaran Museum Wayang Jakarta, yang terletak di Jalan Pintu Besar Utara, dekat stasiun kereta api Jakarta Kota. Museum yang didirikan pada 1975 itu terkesan kumuh sehingga sedikit didatangi pengunjung.
Sebagai objek pariwisata, banyak kendala dihadapi museum ini. Selain gedungnya kecil yang merupakan peninggalan bangsa Belanda, Museum Wayang tak memiliki areal parkir. Ini yang menyulitkan para pengunjung untuk pergi ke sana, terutama yang membawa kendaraan pribadi.
Namun bersyukur, Museum Wayang cukup ramai didatangi orang pada hari Minggu atau libur manakala ada demo pembuatan wayang, pemutaran video, atau pameran temporer. Biasanya banyak wisatawan mancanegara datang ke sana, yang tentu saja berdampak positif pada pengenalan kesenian wayang.
Saat ini jumlah koleksi Museum Wayang mencapai 5.000 buah, meliputi berbagai jenis wayang dari dalam negeri dan mancanegara. Ditambah berbagai perlengkapan pertunjukan wayang, seperti blencong, gamelan, dan layar. Wayang-wayang mancanegara antara lain berasal dari China, Kamboja, Malaysia, India, Prancis, Belanda, dan Inggris.
Dilihat dari lingkungan, lokasi Museum Wayang juga kurang ideal karena dihimpit kantor dagang. Lokasinya yang tanpa halaman pun membuat debu-debu mudah memasuki ruangan, karena pintu masuk dan jendela persis terletak di tepi jalan raya yang ramai dilalui kendaraan bermotor. Begitu juga angin laut yang lembab di malam hari dan panas terik di siang hari. Cuaca yang terbilang ekstrem ini berperan merusakkan koleksi yang umumnya terbuat dari kain, kulit, kayu, dan bahan-bahan yang mudah rapuh.
Sebagai negara besar yang dikenal memiliki kebudayaan tinggi sejak dulu kala, tentu amat memalukan kalau kita tidak mempunyai museum wayang yang representatif atau berkelas internasional seperti halnya Museum Berlin. Padahal banyak jenis wayang dari berbagai daerah sudah pantas dilestarikan di dalam museum ini. Apalagi wayang sudah dianggap sebagai warisan milik dunia oleh UNESCO tahun 2004 lalu.
Sudah seharusnya pembenahan Museum Wayang dilakukan secepat mungkin, antara lain melengkapinya dengan laboratorium konservasi untuk merawat dan memperbaiki koleksi wayang yang rusak atau patah. Jangan sampai kita harus belajar wayang atau melihat wayang ke negeri orang, yang justru lebih peduli terhadap kekayaan budaya milik bangsa Indonesia.
Kini selain di Berlin (Jerman), beberapa negara seperti AS, Belanda, Inggris, Prancis, Jepang, dan Australia juga memiliki museum wayang. Bahkan di sana terdapat banyak perangkat gamelan. Ini karena para mahasiswa yang memilih jurusan seni Indonesia relatif banyak jumlahnya. Lengkapnya lagi, mereka membentuk semacam perkumpulan penggemar wayang. Museum Wayang terbesar di mancanegara antara lain adalah Museum of Mankind dan Smithsonian Institute (AS).
Kita sendiri yang harus melestarikan wayang Indonesia, misalnya membuat program khusus jangka panjang. Program ini dikaitkan dengan pariwisata Indonesia sehingga promosinya lebih mudah. (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar