Pengumuman


Blog ini tidak diperbarui atau posting artikel lagi. Selanjutnya silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Rabu, 20 Januari 2010

Menyelesaikan Sengketa dan Kasus dengan Metode Arkeologi


Barangkali belum hilang dari ingatan kita lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia akhir 2002 lalu. Meskipun kemudian DPR mengajukan hak interpelasi kepada pemerintah, tetap saja kedua pulau itu tak bakalan kembali. Masalahnya, keputusan Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda sudah mempunyai ketetapan hukum. Lewat pemungutan suara, mayoritas hakim menetapkan Malaysia adalah pemilik sah kedua pulau itu.

Sebenarnya sengketa terhadap kedua pulau itu sudah berlangsung sejak 1970-an. Namun kedua pulau tidak dinyatakan sebagai status quo tetapi nyata-nyata dikelola oleh Malaysia. Bahkan pemerintah Malaysia mempromosikan kedua pulau itu sebagai objek wisata bahari yang menakjubkan milik negerinya. Beberapa tahun sebelum sidang pengadilan, ratusan ribu wisatawan datang ke sana setiap tahunnya.

Merunut sejarahnya, keberadaan Pulau Sipadan dan Ligitan tak lepas dari masa kolonial yang pernah dialami Indonesia dan Malaysia. Meskipun pemerintah Indonesia telah menunjukkan berbagai dokumen sejarah, namun pemerintah Malaysia lebih jeli melihat peluang. Justru asas pemanfaatan itu menjadi kunci utama keberhasilan mereka sehingga Indonesia kalah mutlak dalam sidang pengadilan internasional.

Sengketa pulau bukan dialami Indonesia dan Malaysia saja. Sejak lama sejumlah negara juga sudah klaim-mengklaim dengan tetangganya terhadap pulau-pulau yang dianggap potensial. Jepang dan Rusia, misalnya, pernah bertengkar soal Pulau Kuril di Samudra Pasifik. Inggris dan Argentina pernah memperebutkan Pulau Falkland (Malvinas) di Samudra Atlantik melalui kontak senjata cukup lama.


Spratly

Sengketa pulau terus terjadi di antara negara tetangga, terutama yang lokasi pulaunya berdekatan dengan negara-negara tersebut. Gugusan kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan juga tengah menjadi ajang konflik enam negara sekaligus, yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam. Masalah tersebut belum terselesaikan dengan tuntas hingga kini.

Kepulauan Spratly diyakini kaya akan minyak, gas, dan hasil perikanan. Karena itu masing-masing negara mengklaim adalah pemilik yang sah dari sebagian atau seluruh kepulauan tersebut.

Banyak pertikaian dialami keenam negara itu dari tahun ke tahun. Filipina pernah menangkapi kapal-kapal ikan Taiwan karena dianggap telah melanggar kedaulatan perairan mereka. Pasukan Cina dan Vietnam pernah terlibat pertempuran sengit karena Cina mencoba menduduki wilayah itu sementara Vietnam menentang keras.

Vietnam sendiri bersikukuh merekalah pemilik sah pulau. Ini diperlihatkannya dengan mengirim sekelompok turis untuk pertama kalinya dalam sejarah menuju Pulau Spratly pada April 2004 lalu.

Pemerintah Malaysia juga tidak mau kalah. Mereka membangun fasilitas kepariwisataan di salah satu gugusan kepulauan Spratky. Bahkan semakin digencarkan sejak kemenangannya atas kasus Sipadan-Ligitan dari Indonesia.

Cina menganggap merekalah yang berdaulat penuh atas Spratly. Argumentasi Cina adalah mereka yang pertama kali menemukan sekaligus mendudukinya. Fakta itu didasarkan atas berbagai temuan arkeologis di sana.

Sekitar 1991 tim arkeologi Cina menemukan kapak-kapak batu dan barang keramik. Setelah diidentifikasi, barang-barang kuno itu diketahui berasal dari zaman batu baru (neolitik) dan Dinasti Han (sekitar tahun 200 sebelum Masehi). Benda-benda itu kemungkinan besar dibawa oleh para pedagang Cina ke Pulau Ganquan, salah satu gugusan kepulauan Spratly itu.

Ternyata temuan-temuan tersebut mirip dengan artefak-artefak arkeologi sejenis di Pulau Hainan, pulau milik Cina. Yang lebih jelas diungkapkan dalam dokumen sejarah Cina. Dikatakan bahwa kepulauan itu sudah menjadi milik Cina sejak 770 SM.

Sudut pandang arkeologi bisa memperjelas status pulau karena arkeologi mencakup kurun waktu yang amat jauh ke belakang. Hal inilah yang amat menguntungkan dunia penelitian.


Metode Arkeologi

Metode arkeologi mungkin sekali tidak pernah diterapkan di Sipadan dan Ligitan. Seharusnya ekskavasi (penggalian arkeologis) dilakukan di sana, untuk menguak segala tabir yang masih berada di dalam tanah. Hasil temuan arkeologi mampu menunjukkan pengaruh mana yang lebih kuat, apakah pengaruh Malaysia ataukah pengaruh Indonesia. Dalam arkeologi ekskavasi bertujuan untuk mengungkapkan jati diri bangsa.

Saat ini Indonesia masih memiliki beberapa pulau yang rawan konflik dengan sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Australia, Timor Leste, dan Papua. Seyogyanya penelitian arkeologi dilakukan di pulau-pulau yang berada di titik rawan.

Batas laut, hukum laut internasional, atau zone ekonomi eksklusif saja belum cukup. Perlu ada dukungan dari disiplin ilmu lain. Di samping arkeologi, kita membutuhkan kajian sejarah, antropologi, dan filologi (naskah kuno), terutama lewat subdisiplin etno-arkeologi atau analogi-etnografi.

Banyak kasus lain pun dapat diungkap lewat metode arkeologi. Beberapa tahun lalu pemerintah AS pernah mengujicobakan metode-metode arkeologi untuk mencari kerangka serdadu mereka yang hilang sewaktu Perang Vietnam 1960-an. Dalam pencarian itu ikut terlibat ahli forensik, arkeolog, dan ahli penjinak bahan peledak. Tujuan mereka adalah mencari bukti apakah tentara AS yang belum kembali ke negaranya semasa Perang Vietnam itu gugur karena sakit atau karena perang. Sebab ada kebanggaan tersendiri kalau tentara yang gugur karena perang lebih “bergengsi” daripada gugur karena sakit atau akibat lain.

Selain kerangka, tim juga mencari reruntuhan pesawat tempur atau sisa-sisa bahan peledak. Prosedur penelitian sama seperti konsep arkeologi klasik. Memang hasil yang diperoleh kurang menggembirakan berbagai pihak. Namun hasil maksimal dengan penelitian arkeologi sudah memberi banyak dukungan kepada keinginan keluarga- keluarga yang kehilangan sanak saudara mereka.

Metode arkeologi juga pernah diterapkan pada situs kuburan masal di Irak tahun 2004 lalu. Pihak Sekutu menduga, mereka adalah korban kekejaman rezim Saddam Hussein melalui senjata kimia/biologis atau senjata pemusnah masal. Ternyata dari hasil penelitian arkeologi dan forensik, tidak terbukti adanya senjata pemusnah masal. Memang ada yang tidak puas, tetapi bagaimanapun itulah hasil penelitian ilmiah yang objektif. (DJULIANTO SUSANTIO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Kontak