Dari sekian jenis hasil ekskavasi arkeologi, sisa-sisa moluska purba termasuk relatif jarang ditemukan. Hanya pada situs-situs tertentu artefak-artefak tersebut banyak dijumpai. Meskipun kehadirannya kurang diperhatikan, namun keberadaan moluska purba tetap menjadi kajian menarik segelintir arkeolog. Banyak hal bisa terungkap dari hewan tersebut jika saja para pakar sanggup menafsirkannya dengan baik. Begitu juga konteksnya dengan benda-benda temuan lain, bisa berbicara banyak apabila unsur-unsur penunjangnya juga relatif banyak.
Moluska umumnya terdiri atas dua jenis hewan bertubuh lunak, yakni kerang (berkatup dua) dan keong (berkatup satu). Hewan ini sudah dikenal sejak zaman prasejarah, yakni masa sebelum manusia mengenal tulisan. Dari berbagai temuan arkeologi diketahui kerang lebih banyak dikonsumsi manusia purba dibandingkan keong.
Entah mengapa kerang lebih disukai manusia purba daripada keong. Tapi yang jelas daging kerang dan keong mengandung gizi tinggi. Banyak manusia purba, baik yang hidup di tepi pantai maupun di dalam gua, sering mengonsumsi kedua hewan itu.
Menurut penelitian para pakar prasejarah, manusia purba mulai hidup sebagai nelayan atau pencari kerang sekitar tahun 20.000 Sebelum Masehi. Mereka pun mengembangkan eksploitasi laut dengan menggunakan peralatan sangat sederhana.
Selain diambil dagingnya, cangkang moluska dimanfaatkan untuk berbagai keperluan rumah tangga, seperti alat pemotong, gayung, alat musik, bekal kubur, uang primitif, mas kawin, dan hiasan. Cangkang moluska tertentu diketahui menjadi benda pusaka suatu suku bangsa karena dipandang mampu melindungi seluruh warga dari segala marabahaya. Sampai sekarang masyarakat Belu, NTT, juga masih memiliki kepercayaan seperti itu. Sejumlah pusaka hanya boleh digunakan pada upacara-upacara adat oleh golongan bangsawan. Pusaka lain dipakai oleh wanita tertentu untuk melakukan tarian tradisional atau menyambut tamu-tamu agung.
Cangkang yang sangat kecil sering dirangkai menjadi kalung dan dibuat manik-manik. Perhiasan jenis ini telah dikenal sejak zaman Paleolitik Atas. Sementara itu H.R. van Heekeren pernah menemukan penggaruk dan alat tusuk dari cangkang moluska di situs Pangkajene, Sulawesi Selatan. Bukan itu saja, di situs Leang Karassa, tak jauh dari Pangkajene, Heekeren menjumpai lapisan kerang setebal 100 cm (Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I).
Bukit kerang atau bukit remis juga pernah ditemukan di Sumatera. Dalam ekskavasinya dekat Medan (1925-1926), P.V. van Stein Callenfels menemukan cangkang moluska yang dijadikan alat tiup, tempat minum, gayung, perhiasan, penggaruk, dan serut bersama-sama dengan kapak genggam. Kemungkinan besar kapak genggam itu digunakan untuk memecah cangkang yang keras. Sampai sekarang kapak genggam Sumatera merupakan artefak masa prasejarah yang sangat spesifik bentuknya.
Yang agak berbeda adalah temuan dari situs Banten Lama. Selain sejumlah besar cangkang kerang, pada situs itu ditemukan pula pecahan-pecahan keramik dan periuk. Diperkirakan situs tersebut merupakan tempat permukiman penduduk pantai yang makanan pokok serta kehidupan sehari-harinya tergantung dari hasil laut.
Data arkeologi
Meskipun fosil moluska (berusia ribuan tahun) dan moluska kuno (berusia ratusan tahun) sudah banyak ditemukan pada berbagai situs arkeologi, namun penelitian terhadap artefak-artefak itu masih jarang dilakukan orang. Baru dalam 30 tahun terakhir ini sisa-sisa moluska dipandang menjadi data arkeologi yang berguna bagi kelengkapan suatu penafsiran sejarah. Data arkeologi tersebut dipakai untuk menafsirkan hubungan penghuni purba suatu situs dengan daerah-daerah lain, terutama daerah pesisir. Dengan mengetahui lingkungan hidup atau habitat berbagai jenis moluska, para pakar antara lain dapat menyimpulkan apakah penghuni purba sudah pandai menyelam atau berlayar. Di mata pakarnya moluska juga merupakan petunjuk yang berguna dalam menentukan iklim atau cuaca dan vegetasi.
Secara umum ada tiga manfaat studi terhadap moluska. Pertama, dapat digunakan sebagai bahan aplikasi studi tentang paleoantropologi. Kedua, untuk merekonstruksi data iklim dan lingkungan purba. Ketiga, untuk studi mengenai sumber makanan. Demikian menurut Rokhus Due Awe, peneliti moluska purba dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional dan Kresno Yulianto, dosen arkeologi UI.
Dibandingkan hewan-hewan lain, moluska termasuk jenis yang istimewa. Kuantitas dan kualitasnya yang menonjol menjadikan moluska merupakan hewan yang dianggap paling banyak mengandung informasi kepurbakalaan dan kesejarahan. Apalagi cangkangnya yang keras karena mengandung zat kapur, memungkinkan moluska dapat menyimpan informasi dalam cuaca bagaimanapun dan dapat bertahan selama ribuan tahun di dalam tanah.
Moluska bukan hanya menjadi objek penelitian para arkeolog. Para antropolog pun sering meneliti moluska, tentu dalam sudut pandang berbeda. Menurut Jopie Wangania, antropolog UI, terdapat empat fungsi kerang bagi manusia, yakni sebagai kerang pangan, kerang industri, kerang obat, dan kerang bermakna religius.
Kerang pangan adalah kerang yang dagingnya dapat dimakan. Kerang industri adalah kerang yang cangkangnya dapat dijadikan barang kerajinan. Kerang obat adalah kerang yang dapat dimanfaatkan sebagai obat, terutama obat kulit atau gatal-gatal. Sedangkan kerang bermakna religius adalah kerang yang digunakan pada pesta atau upacara adat suatu suku bangsa.
Sebagai sumber informasi masa lampau, moluska banyak ditemukan pada situs-situs arkeologi di NTT, Anyer, dan Gilimanuk. Ada yang bentuknya kecil, ada pula yang besar. Sayangnya, moluska masih sulit dijadikan pertanggalan mutlak, seperti halnya keramik atau mata uang. Ini karena perkembangan bentuk cangkang hewan-hewan itu relatif sama dari masa ke masa. Salah satu contohnya adalah sejenis Gastropoda yang menurut para pakar zoologi tidak memiliki perbedaan yang berarti meskipun berselang waktu ratusan tahun.
Di mata para arkeolog, temuan-temuan moluska yang memiliki tanda-tanda pemangkasan atau pengerjaan oleh manusia lebih mudah diidentifikasi. Begitu juga yang berada dalam konteks temuan atau bersama sejumlah benda arkeologis. Sebenarnya penelitian terhadap cangkang moluska bisa pula untuk mengetahui berbagai hal lain, seperti teknologi pembuatan alat, perkembangan spesies, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dan lingkungan hidup. Namun entah mengapa penelitian belum mengarah ke sana. (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar