Di dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja adalah penguasa tertinggi. Ini karena sesuai dengan landasan kosmogoni, raja dianggap penjelmaan dewa di dunia. Sebagai seorang dewaraja, kepemimpinan raja sangat dihormati masyarakatnya. Terlebih karena raja sudah dibekali dengan berbagai pengetahuan yang tercakup dalam kitab agama. Meskipun kitab-kitab tersebut bersumber pada kebudayaan India, namun manfaatnya amat dirasakan oleh masyarakat kuno ketika itu.
Salah satu naskah yang menjadi pegangan wajib adalah Kakawin Ramayana. Di dalam bagian yang berisikan uraian tentang rajadharmma (tugas dan kewajiban seorang raja), yakni bagian yang merupakan ajaran Rama kepada Bharata dan Wibhisana, dijumpai antara lain ajaran astabrata (asta = delapan, brata = perilaku).
Dikatakan, di dalam diri seorang raja harus berpadu sifat delapan dewa, yakni Indra, Yama, Surya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni. Artinya, sebagai Indra (Dewa Hujan), raja hendaknya menghujankan anugerah kepada rakyatnya; sebagai Yama (Dewa Maut), raja harus menghukum para pencuri dan penjahat; sebagai Surya (Dewa Matahari) yang senantiasa mengisap air secara perlahan-lahan, raja hendaknya menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit sehingga tidak memberatkan; sebagai Soma (Dewa Bulan), raja harus membuat bahagia seluruh dunia dengan senyumannya yang bagaikan amerta (air suci untuk kehidupan abadi); sebagai Wayu (Dewa Angin), yang dapat menyusup ke tempat-tempat tersembunyi, raja harus senantiasa mengetahui hal-ikhwal rakyatnya dan semua gejolak di berbagai lapisan masyarakat; sebagai Kuwera (Dewa Kekayaan), raja hendaknya menikmati kekayaan duniawi; sebagai Waruna (Dewa Laut) yang bersenjatakan jerat, raja haruslah menjerat semua penjahat; dan sebagai Agni (Dewa Api), raja harus membasmi semua musuhnya dengan segera (Sejarah Nasional Indonesia II, 1984).
Ini berarti seorang raja harus berpegang teguh kepada dharmma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa, bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak di masyarakat, berusaha agar rakyat senantiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, serta memerlihatkan kewibawaannya.
Raja-raja zaman dahulu boleh jadi sudah benar-benar menghayati peraturan tersebut. Kita harapkan pemimpin masa sekarang juga berlaku demikian karena meskipun usia naskah itu sudah berabad-abad, namun relevansinya dengan masa sekarang masih sangat besar. Pemimpin harus berani menjerat semua penjahat, termasuk koruptor BLBI tentunya.
Keberhasilan raja membangun pemerintahan yang aman sejahtera rupanya ditunjang oleh adanya pejabat-pejabat yang bersih. Menurut data dari sejumlah prasasti, di antara sejumlah pejabat, yang paling berperan adalah pejabat kehakiman, pejabat pajak, dan pejabat keagamaan. Seandainya saja pejabat-pejabat zaman sekarang bersih pula, sudah pasti masyarakat akan hidup aman sejahtera seperti zaman dahulu.
Kitab hukum
Pada masa Kerajaan Mataram, gambaran tentang administrasi kehakiman dapat direka-reka berdasarkan beberapa prasasti yang merupakan keputusan peradilan (jayapatra) dan keterangan dari bagian prasasti yang disebut sukha dukha. Uniknya, sang raja sendiri sering memimpin sidang pengadilan. Padahal, menurut kitab hukum Manawadharmmasastra, raja tidak boleh menjadi hakim sendiri. Mengapa raja sendiri yang mengajukan pertanyaan kepada tertuduh dan sekaligus memutus perkaranya, diperkirakan raja belum puas terhadap kinerja aparat penegak hukum yang ada.
Tidak dimungkiri, hukum ketika itu tidak pandang bulu. Petugas pajak yang termasuk elit birokrasi pun tak luput dari jerat hukum, sebagaimana termuat dalam Prasasti Guntur (907 M), Wurudu Kidul (922 M), dan Tija (sekitar abad X). Ya, petugas pajak pun manusia, tentu tidak luput dari kesalahan atau kekhilafan.
Seorang petugas pajak, misalnya, pernah kena batunya gara-gara memanipulasi ukuran tampah (alat ukur waktu itu). Ketika mengukur sawah seorang petani, dia menggunakan tampah yang lebih kecil dari ukuran yang sesungguhnya. Terang saja, luas sawah si petani membengkak. Akibatnya dia harus membayar pajak yang lumayan besar. Karena tidak puas, si petani mengadu kepada raja.
Setelah dilakukan pengukuran ulang, ternyata luas sawahnya terbukti sengaja di-“mark-up” oleh si petugas pajak. Bayangkan kalau tidak teliti, si petani harus membayar pajak lebih, sementara si petugas pajak memperoleh uang haram. Sayang sekali, prasasti tidak menyebutkan sanksi bagi si petugas pajak nakal itu, apakah dimutasikan ataukah diberhentikan. Menurut prasasti, para pejabat pengadilan di tingkat pusat itu disebut sang pamgat tiruan dan sang pamgat manghuri.
Hukum yang adil dan penegak hukum yang handal diteruskan kemudian oleh pemerintahan di Kerajaan Majapahit. Pada masa itu terdapat tujuh orang upapatti yang diketuai oleh dua orang dharmmadhyaksa (kemudian kata ini menjadi asal kata jaksa), yaitu dharmmadhyaksa dari agama Buddha dan Siwa (Hindu). Secara harfiah dharmmadhyaksa bisa diartikan “jaksa yang berdarma”.
Waktu itu rupa-rupanya tidak mudah menjadi seorang pengadil. Menurut kitab hukum dari masa Majapahit, seorang hakim haruslah seorang pendeta yang sempurna pengetahuannya akan semua kitab sastra dan tidak bingung menghadapi kesulitan dalam mencari persesuaian antara kitab sastra dengan hukum adat. Dia juga harus tegas dan mampu memberikan keputusan terbaik dalam pengadilan.
Hal hampir serupa diungkapkan pula oleh prasasti-prasasti jayapattra dari masa Majapahit. Dikatakan, sebelum mengambil keputusan, para hakim harus terlebih dulu mempelajari kitab-kitab sastra, peraturan daerah, hukum adat, petuah orang tua-tua, dan kitab-kitab hukum. Malah Prasasti Parung dari masa Raja Hayam Wuruk, memberikan petunjuk tentang adanya dasar hukum yang lain, yaitu sumpah kepada dewa atau tokoh yang didewakan. Tidak jelas, apakah seperti sumpah pocong pada zaman sekarang ataukah berbeda. Di samping kedudukannya sebagai pejabat keagamaan, para upapatti itu dikenal pula sebagai cendekiawan dan bhujangga.
Mataram dan Majapahit merupakan dua kerajaan yang bercorak agraris. Pada masanya kedua kerajaan mengalami kecemerlangan dalam berbagai bidang. Persoalan hukum menjadi mudah karena masyarakatnya taat hukum. Begitu pun aparat penegak hukumnya. Mungkin tidak mudah kena suap, kalau meminjam istilah zaman sekarang.
Bagaimana di Indonesia, sebagai perluasan dan kelanjutan dari kedua kerajaan itu? Justru zaman semakin edan. Petinggi Polri kena suap. Begitu pula dengan para jaksa, termasuk jaksa BLBI di Jakarta dan jaksa pemeras di daerah. Belum lagi hakim dan oknum-oknum nakal lainnya di birokrat pemerintahan, termasuk mantan dan anggota DPR sebagai wakil-wakil rakyat terhormat. Bagaimana membarantas ulah negatif seperti mereka itu, ada baiknya kita harus banyak membaca warisan-warisan Mataram dan Majapahit itu. Ini bukan “gosip jalanan” tetapi wawasan pengetahuan. (DJULIANTO SUSANTIO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar